Award Winners

Adagium; Uleue Beumate Ranteng Bek Patah

Adagium; Uleue Beumate Ranteng Bek Patah
Ketua Majlis Syura Dewan Dakwah Aceh dan Dosen Siyasah pada Fakultas Syari’ah & Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL, MA. (Doc: Harian Reportase)  
Penulis
|
Editor

Oleh: Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL., MA

Judul artikel ini mengandung arti filosofis yang dikaitkan dengan sebatang ranting yang menjadi senjata seseorang dan seekor ular yang membahayakan diri orang tersebut. Lalu bagaimana orang tersebut dapat menggunakan ranting tersebut sebagai satu-satunya senjata dalam perjalanannya yang sangat membahana untuk mematikan ular yang berupaya mematok dirinya sehingga ular itu harus mati dan ranting selamat tidak patah. Dilematis bagi orang tersebut adalah kalau ranting patah duluan dan ular tidak mati maka ular akan memangsanya, atau ular mati dan ranting tetap selamat menjadi senjata bermanfa’at baginya.

Makna filosofis yang lebih mendalam terkandung dalam judul artikel ini adalah; bagaimana seorang Aceh (terutama para pemimpin) dapat menggunakan ranting yang ma’ruf dikenal pasif, lemah, kecil, dan pendek itu menjadi senjata yang mampu mematikan ular yang hidup, aktif, dan agresif. Ia bermakna bagaimana seorang pemimpin itu mampu menyelesaikan persoalan yang muncul dengan penuh ke’arifan sehingga masalahnya selesai dan kekuatan persaudaraan tetap terjaga.

Ini merupakan ungkapan filosofis dalam kehidupan masyarakat Aceh terkait dengan penyelesaian sesuatu masalah yang sudah tersorak borak bertahun-tahun lamanya sehingga sudah tidak menentu arahnya lagi, ungkapan tersebut bernama “Uleue Beumaté Ranténg Bèk Patah.” Ungkapan dimaksud mengindikasikan sebuah kebijakan dan kebijaksanaan yang harus dilakukan oleh seseorang sehingga masalah dapat diselesaikan dan ukhuwah tidak menjadi runyam. Ungkapan ini menunjukkan betapa para endatu orang Aceh dahulu begitu arif dan bijaksana dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sehingga sesama muslim tidak terjadi pergadohan, pertikaian, perkelahian dan semisalnya.

Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sering wujud situasi dan kondisi yang menjurus kepada keruntuhan ukhuwwah dan perpecahan persahabatan seperti dakwa dakwi tentang batas wilayah gampong, dakwa dakwi tentang pembagian harta warisan, perlawanan antara satu ke lain komunitas masyarakat dan semisalnya. Dakwa dakwi tersebut memerlukan penyelesaian dan solusi, untuk menyelesaikan dakwa dakwi tersebut bagi orang Aceh sangat amat jarang dan bahkan sangat pantang sekali dihadapkan kepihak kepolisian apalagi kemeja hijau di pengadilan sebelum diselesaikan oleh Geusyik di peringkat gampong atau Imum Mukim di peringkat kemukiman. Pada level Geusyik dan Imum Mukim inilah dakwa dakwi tersebut disepadankan dengan ungkapan “Uleue Beumaté Ranténg Bèk Patah”, yang mengandung filosofi perdamaian paling tinggi dan mendalam di sana.

Baca Juga:  Tha'at Kepada Pemimpin

Kalau persoalan dakwa dakwi tadi langsung dibawa kepihak kepolisian atau ke pengadilan sudah barang tentu penyelesaiannya akan berakhir dengan keputusan ada pihak yang kalah dan ada pihak yang menang. Tetapi manakala dikaitkan penyelesaian dengan ungkapan filosofis “Uleue Beumaté Ranténg Bèk Patah”, maka di sana tidak ada pihak yang kalah dan dikalahkan melainkan dua-duanya menang dan ukhuwwah serta persaudaraan tetap bertahan antara pihak yang berdakwa dakwi tersebut. Dalam kondisi semacam ini posisi Geusyik dan Imum Mukim sangat menentukan dalam upaya merealisasikan dan mensosialisasikan padanan “Uleue Beumaté Ranténg Bèk Patah”.

Sering juga hari ini terjadi sengketa dalam sesuatu organisasi dan perkumpulan masyarakat seperti yayasan pendidikan, yayasan masjid, yayasan perkongsian dan lainnya  yang berujung kepada terjadinya sunglap menyunglap anggaran, sunglap menyunglap laporan, sunglap menyunglap kepengurusan dan seumpamanya. Dalam kondisi semisal itu di mana peran adagium “Uleue Beumaté Ranténg Bèk Patah”? Tentunya kita memerlukan sosok-sosok yang mengerti, memahami dan memiliki perasaan filosofis yang terkandung dalam ungkapan “Uleue Beumaté Ranténg Bèk Patah”. Dan kita di zaman ini tidak banyak lagi orang yang memiliki perasaan dan kebijakan yang selaras dengan adagium demikian karena kita sudah dipengaruhi oleh pengaruh kehidupan zaman yang mengedepankan kepentingan daripada persaudaraan. Semestinya bangsa Aceh wajib menghidupkan kembali ruh asli daripada adagium “Uleue Beumaté Ranténg Bèk Patah”

Karena warisan endatu kita memiliki nilai filosofi yang sangat mendalam dalam setiap penyelesaian masalah dengan tujuan masalah harus selesai dan ukhuwah harus kekal, maka untuk keperluan hidup di zaman teknologi canggih hari ini adagium “Uleue Beumaté Ranténg Bèk Patah” dapat diklasifikasikan menjadi empat adagium, yakni; pertama; “Uleue Beumaté Ranténg Bèk Patah”, kedua; “Uleue Beumaté Ranténg Bah Patah”, ketiga; “Uleue Hana Maté Ranténg Hana Patah”, dan keempat; “Uleue Hana maté Ranténg Ka Patah”

“Uleue Beumaté Ranténg Bèk Patah” dalam perumpamaan lain adalah, bagaimana perjuangan suatu bangsa untuk melepaskan diri dari penjajahan dengan menyelamatkan anak bangsanya tidak dibunuh mati, hasil alamnya tidak dijarah penjajah dan bangsa bersama negara dapat kemerdekaan sebagaimana yang dialami oleh negara Brunei Darussalam sebagai perumpamaan alternatif. Jadi perjuangannya berjaya tanpa mengorbankan ranting walaupun ular tidak mati tetapi lari dari negeri para pejuang, maka filosofi dari “Uleue Beumaté Ranténg Bèk Patah” sudah wujud dalam kehidupan bangsa Brunei Darussalam.

Baca Juga:  Syariat Islam Berbahaya Bagi Indonesia, Mana Buktinya?

Adagium kedua; “Uleue Beumaté Ranténg Bah Patah”, wujud dalam perjuangan heroik yang mematikan pihak-pihak terlibat seperti yang dialami oleh bangsa Aceh dalam menghalau penjajahan Belanda. Manakala agresi kedua penjajah Belanda terhadap Indonesia di penghujung tahun 1948 semua wilayah lain di Indonesia sudah diduduki dan dikuasai Belanda yang berkonsekwensi presiden dan wakil presiden sudah ditawan Belanda, ibukota Jakarta dirampas Belanda, kemudian manakala ibukota dipindahkan ke Jogjakarta, Jogjakartapun dijarah bulat-bulat oleh Belanda, maka berakhirlah kedaulatan Indonesia yang sudah dirampas oleh penjajah dari negeri Belanda. Ketika Syafruddin Prawiranegara yang berada di Bukit Tinggi Sumatera Barat diangkat menjadi Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) menjadi alternatif lain mengembalikan kedaulatan Indonesia, ternyata Bukit Tinggi bersama dengan Sumatera Barat juga ditaklukkan Belanda, maka berakhirlah riwayat Indonesia.

Dalam kondisi semacam itu hadir para ulama dan pemimpin dari bumi Aceh bersama rakyatnya menghambat dan mempertahankan wilayah Aceh dari jamahan Belanda dengan gerakan “Perang Medan Area” di Sumatera Timur, “Radio Rimba Raya” di Krueng Simpo, pembiayaan total kepada Agus Salim, L.N. Palar dan lain-lain sebagai duta Indonesia di luar negeri, pembelian pesawat terbang pertama bernama Seulawah Agam dan Seulawah Dara untuk perjuangan oleh bangsa Aceh, penampungan para petinggi Indonesia seperti petinggi polisi/TNI/Kejaksaan/Kehakiman dan lainnya di Kutaraja sebagai upaya menghindari penangkapan oleh Belanda dan sejumlah bantuan lainnya menghasilkan pengakuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk kewujudan Republik Indonesia. Maka dalam kondisi semacam itu berlakulah adagium “Uleue Beumaté Ranténg Bah Patah”, Ular (penjajah) sudah dimatikan oleh bangsa Aceh dan kehabisan harta, kesyahidan bangsa, serta kecapekan tenaga dialami bangsa Aceh dalam upaya mewujudkan adagium; “Uleue Beumaté Ranténg Bah Patah”. Kondisi serupa juga dialami oleh bangsa Timur Leste yang berjaya melepaskan diri dari cengkraman Indonesia setelah memukul ular Indonesia yang akhirnya ular tersebut mati dan ranting pemukulnyapun patah.

Dalam konteks adagium ketiga; “Uleue Hana Maté Ranténg Hana Patah”, ini digambarkan oleh perjuangan yang gagal tetapi tidak banyak memperoleh kerugian kedua belah pihak dan posisi eksistensi marwah dan martabat kembali kepada asal mula yang menunjukkan kepadraan yang tidak memalukan seperti terjadinya perdamaian setelah kedua belah pihak menelan kerugian material yang tidak sedikit. Situasi semacam ini wujud dalam pergolakan Darul Islam/Tentera Islam Indonesia (DI/TII) Aceh dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Keduanya berjuang untuk melepaskan Aceh dari Indonesia tetapi setelah puluhan tahun berperang Aceh tetap saja tidak berhasil dilepaskan dari Indonesia, namun terjadi perdamaian antara Aceh dengan Indonesia yang dilambangkan dengan turun gunungnya Tgk. Muhammad Dawud Beureu-eh sebagai Imam Besar DI/TII Aceh dan pulangnya Tgk. M. Hasan Tiro dari Sweden ke Aceh dengan normal sebagai pemimpin besar Gerakan Aceh Merdeka. Dalam kondisi semacam ini maka alokasi yang layak dan patut disemat adalah adagium; “Uleue Hana Maté Ranténg Hana Patah”, walaupun kerugian kedeua belah pihak sulit dihindari.

Baca Juga:  Pj Gubernur Lantik Penjabat Bupati Pidie dan Aceh Jaya

Adagium yang paling tidak disukai bangsa Aceh adalah; “Uleue Hana maté Ranténg Ka Patah”, artinya perjuangan sia-sia tanpa hasil melainkan perjuangan tersebut dihiasi oleh kerugian demi kerugian sehingga perjuangan tersebut sekali berakhir bersama para pejuang seperti kasus sandera yang terjadi terhadap anak-anak sekolah di Beslan/Rusia 1 September 2014 yang mengakibatkan penyandera Chehnya mati ditumpas pasukan Rusia, dalam kasus seperti ini target tidak tercapat dan alat yang digunakan untuk mencapai target sudah hancur, maka rugi melulu yang diperoleh.

Dalam kehidupan bangsa Aceh, dari empat klasifikasi adagium di atas hanya adagium pertama yang selalu disebutkan dalam hidup dan kehidupan bangsa terkait dengan perjuangan dan penyelesaian masalah yang ada. Dalam konteks hari ini untuk mencapai target, tujuan dan sasaran, selain adagium pertama kita masih bisa menggunakan adagium kedua, dan dalam kondisi dan situasi genting adagium ketiga sesekali masih bisa digunakan untuk menyelamatkan harkat dan martabat yang tidak menelan nyawa sehingga berada pada posisi padra/seri. Walaubagaimanapun dalam kondisi normal yang selalu diidamkan adalah adagium pertama karena itulah yang sepenuhnya menguntungkan semua pihak yang berdamai dan berjuang, yakni “Uleue Beumaté Ranténg Bèk Patah”.

Penulis adalah Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh & Dosen Fakultas Syari’ah & Hukum UIN Ar-Raniry.
Email : [email protected]
Terbit : Banda Aceh, 13 Oktober 2020

Bagikan:

Tinggalkan Komentar