Award Winners

 Antara Misi Haji dan Misi Sosial

 Antara Misi Haji dan Misi Sosial
Tgk. Syamsul Bahri, S.Pd.I., M. Pd (Doc: Harian Reportase)  Harian Reportase
Penulis
|
Editor

Oleh Tgk Syamsul Bahri, S.Pd.I., M. Pd

Harian Reportase — Partisipasi masyarakat Indonesia dalam haji, memiliki konteks sosial yang kompleks karena memberikan identitas baru yang dapat mempengaruhi cara mereka berinteraksi dengan masyarakat.

Dalam budaya Indonesia, haji menawarkan nilai status sosial dan ekonomi. Saat berhubungan dengan orang lain, gelar “Hajji” selalu dibubuhkan sebagai sarana identifikasi diri.

Orang-orang yang bertemu dengan Muslim yang telah naik haji, cenderung mengangkat mereka dalam situasi sosial bukan hanya karena penampilan “takwa” mereka, tetapi juga karena implikasi bahwa mereka sukses secara moneter.

Setiap tahun, jumlah pelamar haji terus meningkat sebagai akibat dari insentif agama yang kuat dan status sosial yang tinggi. Mereka bahkan setuju untuk menunggu sembilan sampai dua belas tahun dalam antrean (Moh. Soehadha).

Hampir semua negara yang melakukan ibadah haji meminta kuota lebih dari otoritas Arab Saudi. Ini menunjukkan dengan tegas bahwa umat Islam menjadi lebih sadar akan rukun Islam yang kelima.

Tetapi apakah peningkatan kesadaran beragama ini sebenarnya mencerminkan kebangkitan budaya pop, atau hanya upaya budaya ini untuk mendapatkan penerimaan sosial?

Haji Berulang kali:”Ikut” Tingkatkan Masalah di Arab Saudi

Kualitas masyarakat Indonesia tidak meningkat seiring dengan jumlah jemaah haji Indonesia yang melakukan perjalanan ke sana setiap tahunnya. terutama dalam upaya pengentasan kemiskinan yang berkelanjutan.

Baca Juga:  Ratusan Peserta FASI Aceh Besar Antusias Ikuti Perlombaan

Selain itu, lonjakan jamaah telah menciptakan sejumlah masalah bagi proses haji Arab Saudi.

Dari data tim pengawas haji, setidaknya ada 3 permasalahan yang sering terjadi dalam pelaksanaan haji setiap tahunnya, antara lain:

Kapasitas dan Jarak Tempat Penginapan

Mengutip dari majalah ikhlas beramal edisi 77, disebutkan bahwa jumlah jamaah yang masuk daftar tunggu adalah tempat pertama kali muncul jamaah non kuota (calon jemaah yang masuk daftar tunggu).

Mereka yang tidak mau menunggu bisa melewati antrian dengan menggunakan syafaat orang lain untuk segera pergi. Di Kementerian Agama, mereka tidak melalui pendaftaran.

Akibatnya, mereka diabaikan dan sering menimbulkan masalah bagi PPIH di Arab Saudi. Sejumlah jemaah tak pelak mengunjungi kantor Balai Kesehatan Haji Indonesia saat sakit (BPIH).

Yang membingungkan adalah karena mereka tidak memiliki penginapan tertentu, polisi tidak dapat menemukan mereka jika mereka tersesat dan membawa mereka kembali ke penginapan.

Konsumsi dan Transportasi

Mayoritas jamaah lebih memilih konsumsinya dihantarkan dalam bentuk nasi kotak, menurut statistik dari merdeka.com dan catatan jamaah haji, karena banyak jamaah memilih untuk tidak makan saat makanan disajikan sebagai prasmanan karena mereka memperebutkannya.

Khususnya untuk wanita yang lebih tua yang dikalahkan oleh para pria.

Baca Juga:  Memandang Kasus Sambo dari Perspektif Pendidikan Karakter

Selain itu, saat di Madinah, katering makanan sering datang terlambat. Karena katering datang setelah jemaah pergi tidur untuk malam itu, beberapa lauk pauk menjadi buruk atau tidak dikonsumsi sebagai akibat dari penundaan.

Pemandangannya tidak asing bagi banyak pengemudi bus. Hal ini sering menyebabkan bus hilang, terputusnya mereka dari kelompok lain, dan bahkan ketidakmampuan untuk menyelesaikan shalat Arbain.

Tragedi Mina

Peristiwa tragis terjadi sepuluh tahun yang lalu pada Haji Musim 1424 H ketika umat Islam sedang melaksanakan Jum’at di Mina, yang mengakibatkan tewasnya seorang prajurit korban. Tragedi berlanjut pada tahun 1426 H.

Sebelumnya, Mina melihat banyak tragedi yang menelan ratusan bahkan ribuan korban. Jadi masuk akal untuk mengatakan bahwa Mina adalah buah bibir untuk bencana.

Saat diundang teman-teman dari India, Afganistan, Senegal, Inggris, dan Ghana berbincang dengan Ali Mustafa Ya’qub. Semua orang sepakat bahwa kehadiran jemaah haji yang melakukan perjalanan lebih dari satu kali merupakan salah satu penyebab terjadinya jamaah haji. Bencana kerap terjadi akibat kemacetan ini (Ali Mustafa, 2008).

Zamakhsyari Dhofier mengatakan bahwa salah satu dari tiga masalah utama yang disebutkan di atas disebabkan oleh banyaknya jumlah jamaah yang mengunjungi Mekah. sehingga pelayanannya tidak prima .

Akibatnya, ada banyak solusi potensial untuk mengatasi masalah yang diangkat di atas, termasuk:

  1. Lima Rukun Peningkatan Haji harus dilaksanakan secara serius oleh pemerintah di setiap langkah proses haji. (haji.kemenag.go.id).
  2. Mengurangi pendaftaran haji berulang dengan menerapkan metodologi yang kaku.
  3. Bagi jamaah haji yang ingin mengunjungi Mekkah atau Madinah, pihak berwenang Arab Saudi harus bisa menawarkan perangkat sidik jari. Ini digunakan untuk menyaring jamaah non-kuota yang juga menimbulkan banyak masalah selama haji.
Baca Juga:  BMA Buka Pendaftaran Bantuan Tugas Akhir Mahasiswa D3 dan S1

 

Penyelenggaraan haji akan lebih lancar jika perbaikan-perbaikan tersebut di atas dimaksimalkan, sehingga jamaah dapat menyelesaikan perjalanan dengan nyaman dan tentram.

Mengenai terjadinya haji yang berulang, boleh dikatakan bahwa masyarakat Indonesia belum begitu memahami apa itu mabrur.

Setelah kembali dari Baitullah, haji yang mabrur ditentukan oleh dampaknya terhadap lingkungan, bukan oleh kinerjanya yang berulang.

Di sinilah keinginan Nabi, yang menyatakan bahwa misi haji adalah misi sosial, disinkronkan. Jika kualitas orang Indonesia masih buruk, mungkin salah satu penyebabnya adalah banyak jamaah haji yang belum berkembang di Indonesia.

Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Manajemen Pendidikan Agama Islam (S2) pada Fakultas Tarbiyah Institut Pesantren KH Abdul Chalim (IKHAC) Mojokerto, Jawa Timur. Juga sebagai Ketua PAC Pergunu cabang Darul Imarah Aceh Besar dan pengurus Dayah Samudera Pasai Madani (DSPM) Aceh.

Bagikan:

Tinggalkan Komentar