Award Winners

Hari Tanpa Bayangan, antara Sains, Islam dan Hikmah di Baliknya

Hari Tanpa Bayangan, antara Sains, Islam dan Hikmah di Baliknya
Doc: aceh.kemenag.go.id/Inmas Aceh  Harian Reportase
Penulis
|
Editor
Oleh Rahmatul Fahmi

Harian Reportase — Fenomena hari tanpa bayangan yang terjadi dua kali saban tahun saat deklinasi matahari sama dengan lintang pengamat setempat merupakan sunnatullah yang dapat kita amati dan ambil hikmah di baliknya. Ia bukanlah pertanda akan terjadinya bencana.

Berdasarkan data yang dirilis Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh, hari tanpa bayangan di Aceh berlangsung dalam rentang tanggal 7 hingga 17 September 2021, tergantung pada lintang geografis daerah tersebut. Untuk Banda Aceh, terjadi pada 8 September 2021 pukul 13:36:25 WIB.

Secara lahir, kejadian ini memang tampak hanya perulangan terus menerus sejak Allah menganugerahkan makhluknya, bumi, kemiringan sumbu putar 23,44 derajat (umumnya dibulatkan menjadi 23,5 derajat). Hal ini membuat bumi dapat mengalami pergantian musim, pengamat dapat menyaksikan gerak semu matahari, hingga dapat mengabadikan analemma matahari.

Namun cobalah kita lihat kembali pada firman Allah swt dalam QS. Yunus ayat 5. Allah menjelaskan bahwa benda-benda langit itu diciptakan untuk beredar pada orbitnya masing-masing dengan tujuan agar manusia dapat mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (hisab).

Perhitungan astronomi atau ilmu falak, tidak mungkin dapat terwujud bila benda langit bergerak sembarangan, tidak terukur dan berpola baik. Keteraturan di alam semesta ini hanya mungkin dapat terwujud bila yang menciptakannya adalah kreator Yang Maha Agung. Berbeda dengan apa yang dapat dilakukan manusia yang bahkan dalam kesehariannya sulit untuk mengatur agar tidak salah menulis huruf atau typo padahal sudah berusaha untuk seteliti mungkin.

Baca Juga:  Mobil-Mobil China Makin Ganas di Pasar RI

Periode rotasi dan revolusi bumi yang tetap dan terukur, membuat manusia dapat membuat satuan ukuran waktu, juga membuat jadwal waktu ibadah dengan akurat. Misalnya waktu shalat.

Waktu shalat dihitung dengan menggunakan data matahari saat telah melewati titik kulminasi dan ditambahkan dengan waktu ikhtiyat. Awal waktu shalat dhuhur adalah saat tergelincirnya matahari ke barat dari titik tertinggi matahari di langit pada hari tersebut.

Bila Allah tidak menciptakan bumi dan benda langit untuk beredar secara teratur, manusia tidak mungkin dapat membuat jadwal shalat yang terukur dengan baik seperti jadwal shalat yang beredar hari ini.

Begitu pula dengan fenomena hari tanpa bayangan dan peristiwa langit lainnya, seperti gerhana, perhitungan umur bulan atau waktu konjungsi, bahkan pembuatan kalender. Peristiwa tersebut dapat diprediksi kapan akan terjadi karena Allah menciptakan alam semesta dengan teratur, terukur, dan sangat rinci. Sehingga pengamatan dan penelitian berulang pada peristiwa tersebut di masa lalu membuat ilmuwan mampu melahirkan rumus-rumus untuk memperkirakan kapan peristiwa-peristiwa seperti yang disebutkan sebelumnya akan terjadi kembali di masa depan.

Keteraturan alam semesta ini merupakan salah satu kebesaran Allah yang hendaknya kita renungi dan mengambil pelajaran di baliknya. Keteraturan ini bukanlah hasil ketidaksengajaan alam semesta. Sebab hal yang tidak sengaja tidak dapat melahirkan detil dan keseimbangan yang luar biasa. Keteraturan alam ini adalah hal yang menakjubkan, karya Sang Maha Pencipta yang dapat mendekatkan sang pengambil hikmah kepada Allah swt.

Baca Juga:  Gubernur Aceh Bahas Kerja Sama Pengembangan Ekonomi Negara-negara IMT-GT

Bahkan ayat Al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad menegaskan hal itu sejak hari pertama Rasulullah menerima wahyu, dengan perintah untuk mempelajari dan merenungi ciptaan Allah supaya dapat mengenal Allah swt lebih baik.

Bayangkan bila bumi ini tidak teratur, bumi bergerak serampangan, dengan percepatan yang bertambah dan berkurang signifikan. Hari yang seharusnya mulai terang pada pukul lima pagi bisa saja baru bercahaya pada pukul delapan pagi. Ini dapat mengacaukan aktifitas dan kehidupan makhluk di bumi.

Belum lagi pertambahan atau pengurangan percepatan tiba-tiba itu dapat pula menghancurkan kehidupan secara instan. Semuanya berhamburan ke sana kemari. Bagaikan seorang pengemudi menginjak pedal gas mobil tiba-tiba, akseleresasi mendadak itu dapat menghamburkan barang-barang di dalam mobil. Begitu juga saat mengerem mendadak, penumpang di sebelahnya bisa saja kepalanya terantuk dengan dashboard mobil jika tidak sigap.

Percepatan yang konstan inilah yang membuat penduduk bumi tidak terhempas keluar dari bumi. Padahal bumi berotasi dengan kecepatan mencapai 1.670 km per jam. Di samping juga bumi mengelilingi matahari dengan kecepatan 107.226 km perjam.

Baca Juga:  Dua Pj Kepala Daerah di Aceh Diganti, 4 Diperpanjang

Jangan lupakan pergerakan bersama bumi, matahari dan anggota tata surya lainnya yang mengorbit pusat galaksi bimasakti 720.000 km perjam.

Kita sejatinya mengebut sangat cepat di alam semesta dengan kecepatan yang jauh melebihi kecepatan maksimum yang dapat dicapai kendaraan manapun di bumi, tapi semuanya baik-baik saja. Allah yang menciptakannya telah mempertimbangkan hal itu dengan sangat rinci.

Pemisalan sederhananya seperti kita makan dan minum saat mobil berjalan dengan kecepatan tetap, maka makanan dan minuman itu tidak akan tumpah. Akan lain ceritanya bila mobil itu jalannya digas mendadak atau direm mendadak.

Keteraturan ini pula yang membuat waktu shalat umat Islam dapat diperkirakan atau dihitung, baik dengan menggunakan posisi matahari secara langsung, menggunakan bayangan matahari (dhuhur dan ashar) dan cahayanya (untuk maghrib, isya dan subuh), maupun melalui perhitungan matematika.

Untuk menentukan awal bulan, kita memperhatikan pergerakan relatif bulan terhadap matahari. Demikian juga untuk waktu gerhana.

Sungguh benar firman Allah Yang Maha Mengetahui dalam al-Quran surat Ali Imran ayat 191 yang menyatakan tidak ada ciptaan Allah yang sia-sia. Pencipta-Nya Maha Sempurna, ciptaan-Nya menakjubkan luar biasa. Hanya saja kita tidak boleh silau dengan ciptaan-Nya, melainkan mengembalikan segala bentuk puji kepada Yang Maha Menciptakan itu sendiri. (aceh.kemenag.go.id)

Penulis Adalah Staf Observatorium Tgk Chik Kuta Karang Lhoknga-Kanwil kementerian Agama Provinsi Aceh

Bagikan:

Tinggalkan Komentar