Award Winners

Kalau Mahasiswa Maju Terus, Jokowi Bisa Tumbang

Kalau Mahasiswa Maju Terus, Jokowi Bisa Tumbang
Ketua Majlis Syura Dewan Dakwah Aceh & Dosen Siyasah Fakultas Syari’ah UIN Ar-Raniry. Hasanuddin Yusuf Adan. (Doc: Ist/ Harian Reportase)  
Penulis
|
Editor

Oleh: Dr. Hasanuddin Yusuf Adan
Muqaddimah

Menyimak situasi politik tanah air hari ini semakin menarik perhatian banyak orang, apalagi kalau sering-sering dikaitkan dengan perpolitikan zaman Orde Lama (Orla) yang dimotori Ir. Soekarno. Sebahagian besar pengamat politik mengindentikkan suasana antara dua zaman tersebut (Orla dan zaman kini), apalagi kalau dikaitkan dengan partai yang dominan kursi di DPR hari ini yang sering disebut partai berkuasa adalah dipimpin oleh zuriyatnya Soekarno. Secara ideologis – historis memang sulit dibantah kalau gajah melahirkan anaknya yang berbelalai, harimau melahirkan anaknya yang berwarna loreng dan kerbau membesarkan anaknya yang bertanduk.

Dua poin sangat serius yang perlu disorot dalam kaitan perpolitikan zaman Jokowi periode kedua ini adalah; terdiskriminasinya Islam dan ummat Islam serta maraknya pengembangan ideologi komunis. Kedua poin tersebut dimanfa’atkan oleh kaum minoritas plus kaum Sepilis, nasionalis dan kapitalis yang merasa sedang memiliki kesempatan untuk membenah dan mengembangkan diri.

Di sisi lain eforia kaum minoritas tersebut mulai ditantang secara perlahan oleh pihak dan kelompok yang merasa diri sedang dan sudah didiskriminasi rezim Jokowi. Para penentang tersebut masih berada pada posisi berkamuflase mengingat kejamnya rezim terhadap para pengkritiknya, katakanlah gerakan 212, KAMI, perhimpunan para pengacara sampai yang terbaru bangkitnya para mahasiswa dari kampus Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gajah Mada (UGM). HMI dan lainya

Semua itu menjadi sinyal bahwa sebuah perjuangan untuk melawan kezaliman sudah mulai berbenih dan bertunas. Tergantung siapa dan bagaimana cara memapah, merawat dan memupuk benih tersebut, demikian pula akan berkembang kedepannya, kalau yang memapah dan memupuknya mereka para mu’arrifin atau kaum hakimin (orang-orang yang bijaksana) maka hasilnyapun akan dipetik dalam bentuk buah ke’arifan. Sebaliknya kalau yang menyiran, memupuk dan memapahnya adalah mereka yang semberono, maka ia akan menghasilkan dengan hasil yang semborono pula. Kalau kita ibaratkan benih dan bibit yang sedang berkembang itu sebagai sebuah penulisan ilmiah yang memerlukan metodologi, maka penggunaan metodologi tersebut dapat menentukan hasil penulisan yang ingin dicapai oleh seorang penulis.

SITUASI MUTAKHIR

Situasi mutakhir perpolitikan nasional di negara Republik Indonesia (RI) hari ini sudah sangat mencekam, diskriminatif terhadap kaum tertentu oleh rezim yang berkuasa sehingga hampir dapat dipastikan selangkah lagi menjurus kearah seperti rezim Apartheid di Afrika Selatan sebelum Nelson Mandela berkuasa. Kasus penyiraman air mercury kemata staf KPK Novel Baswedan, kasus penusukan Syeikh Ali Jaber, kasus penangkapan ustaz Alfian Tanjung, ustaz Maher Ath-Thuwailibi, kasus pembubaran FPI, kasus unlawful killing terhadap enam orang lasykar FPI, diskriminasi terhada Habib Riziq dengan hukuman yang diada-adakan dan masih banyak lagi kasus-kasus yang irrasional dan unlawful.

Upaya merobah Pancasila menjadi three sila atau bahkan eka sila melalui alat peraganya RUU.HIP menjadi contoh paling konkrit kalau RI sedang beralih fungsi dari sebuah negara kesatuan yang berbentuk republik menuju sebuah negara partai yang selaras dengan ide yang dikembangkan Karl Max. apalagi ketika menyimak ungkapan kepala BPIP Prof. Yudian Wahyudi yang menyatakan bahwa: “Jadi kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya agama.” (detiknews Rabu 12 Februari 2020). Ungkapan tersebut keluar dari mulutnya tidak lama setelah ia dilantik menjadi kepala BPIP oleh tukang lantiknya, ada kesan kalau dia dilantik semata-mata untuk membentur mayoritas muslim dengan konsensus bangsa yang bernama Pancasila. Kalau ide ini dikaitkan lagi dengan usaha merobah Pancasila menjadi three sila dan eka sila maka kloplah ada ideologi ciptaan Karl Max yang disusupi untuk menguasai RI kedepan.

Baca Juga:  Tujuh Daerah di Aceh Zona Merah, Varian Delta Bertambah

Situasi semacam ini sangat amat mirip dan identik dengan zaman Orla yang mengedepankan demokrasi terpimpin dengan mengkolaborasikan tiga ideologi besar menjadi satu dalam konsep Soekarno, yaitu; Nasional, Agama, Komunis (NASAKOM). Nasional diwakili oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) pimpinan Soekarno, Agama diwakili oleh Nahdhatul Ulama (NU) ciptaan Hasyim Asy’ari, dan Komunis diwakili oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan Dipa Nusantara Aidit (D.N.Aidi). dalam ideologi Islam mencampuradukkan antara Islam dengan nasionalisme apalagi komunisme yang anti tuhan dan anti agama sangat amat terlarang karena Islam benda suci dan halal sementara nasionalisme dan komunisme benda haram dalam kajian Islam (lihat Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 42 dan 256). Kalau itu yang dilakukan sama halnya dengan seorang muslim memasak lauk campuran antara daging lembu dengan daging biawak dan daging babi dalam satu kuali.

PENGALAMAN TEMPO DULU

Baca Juga:  Pemerintah Siapkan Regulasi, Semua Bangunan Baru di Aceh Harus Berciri Khas Aceh

Kekalahan belanda oleh gerakan para mahasiswa dalam merebut kemerdekaan Indonesia menjadi tolok ukur kalau para mahasiswa memiliki gezah dan power untuk menggerakkan massa dalam mengakhiri sesuatu rezim. Manakala masyarakat sudah menyatu dengan gerakan mahasiswa maka muncullah people power dalam menggantikan sesuatu rezim yang sudah tidak selaras dengan konstitusi dan kesejahteraan rakyat.

Di Indonesia contoh kasusnya ada pada masa penurunan Soekarno sebagai presiden seumur hidup tahun 1965 dengan dalih Surat Perintah sebelas Maret (Supersemar), penurunan Soeharto yang berawal dari gerakan mahasiswa kemudian lahir people power yang menumbangkan rezim Orde Baru (Orba) dengan slogan reformasi. Presiden pertama dan kedua Indonesia tersebut tidak berhasil diturunkan oleh kekuatan besar seperti kumpulan para jenderal tetapi berjaya dihalau oleh para mahasiswa dan rakyat jelata. Beda dengan Abdurrahman Wahid presiden tidak berpendirian yang hanya mudah diturunkan oleh kekuatan DPR/MPR.

Syah Reza Pahlevi yang bergelar Syah Iran di mantan negara Persia tersebut juga sulit sekali diturunkan oleh kekuatan-kekuatan besar seperti para jenderal, namun ia ditumbangkan oleh orang tua yang secara fisik sudah tidak berdaya; Ayatullah Ruhullah Khomeini dalam tahun 1979. Di Filipina ada diktator Verdinan Marcos yang gagal diturunkan dari kursi kepresidenannya oleh sejumlah jenderal, namun terbukti yang menurunkan dia dari orang nomor satu Filipina hanyalah seorang perempuan janda bernama Cory Aquino yang dari sisi fisik tidak ada apa apanya. Namun ketika people power sudah bergerak banyak hal yang sebelumnya tidak berjaya dilakukan kekuatan besar bisa saja berhasil dengan gemilang.

Nicolae Ceaușescu di Romania terkenal dengan kediktatorannya dalam bingkai ideologi komunis, tidak ada kekuatan yang mampu menurunkannya dari kursi presiden mengingat karir politiknya yang sangat mantap dan komprehensif. Namun ketika people power yang berkuasa di bulan Desember 1989 bukan hanya jatuh dari kursi presiden melainkan rakyatnya sendiri yang mengeksekusinya sampai mati. Saddam Hussein, presiden Irak sangat ditakuti oleh rakyat dan dunia luar karena keberanian dan diktatoriannya, tiada kekuatan besar yang mampu menurunkannya dari kursi presiden namun ketika kuasa besar dunia dalam bingkai sekutu pimpinan Amerika Serikat sudah sangat amat membencinya maka 9 April 2003 Saddam Husin dilenserkan yang berakhir dengan eksekusi mati oleh pasukan koalisi pimpinan AS.

Baca Juga:  Daftar Daerah di luar Jawa-Bali yang Terapkan PPKM Level 4 hingga 2 Agustus

Semua itu terjadi ketika masanya sudah tiba, masa itu cepat tiba ketika usaha kerasnya dilaksanakan dengan serius, ikhlas dan disertai do’a. oleh karenanya pemberian gelar baru oleh BEM UI yang dikomandani Leon Alvinda Putra kepada Jokowi sebagai The King of Lip Service yang didukung oleh Aliansi Mahasiswa UGM yang memberikan prestasi pada Presiden Jokowi sebagai Juara Umum ketidaksesuaian omongan dengan kenyataan (Mantrasukabumi 28 Juni 2021 pukul 17.45). Ketua Umum PB Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) MPO, Affandi Ismail malah mengeluarkan pendapat yang lebih keras lagi: Pak Jokowi Gentlemen Saja, Ngapain Bertahan Kalau Hanya Menambah Derita Rakyat, dia juga mengajak rakyat untuk membentuk pemerintah sementara. (Jurnalpatrolinews 29 Juni 2021 pukul 14.26)

Dukungan terhadap pernyataan BEM UI terus bertambah sehingga menjurus kepada aksi turun jalan para mahasiswa yang boleh saja menjadi people power seperti yang sudah pernah terjadi sebelumnya dalam beberapa kasus di atas. Senat Mahasiswa (Sema) UIN Ar-Raniry yang diwakili wakil Sema Mohd. Hoesni Noer pun tidak mau kalah untuk mendukung BEM UI sebagaimana dimuat di RAMEUNE.COM, demikian juga dengan BEM-BEM lainnya di tanah air. Kondisi semisal ini ibarat benih sudah disemai dan benih tersebut sudah bersemi, tinggal siapa yang menyiram, memapah dan memupuk benih yang sedang berkembang tersebut sehingga cepat memetik buahnya.

Seandainya para mahasiswa terus beranjak dari titik nol menuju perobahan mencapai titik kebenaran dan kejujuran maka sekuat apapun kekuatan rezim akan tidak berdaya untuk menahan. Selaras dengan pengalaman masa silam, perobahan itu memerlukan pionir dan pionir itu harus orang-orang jujur, ikhlas, benar, berani dan terpercaya sehingga pionir akan menjadi magnik bagi masyarakat. Ketika pionir sudah menjadi magnik maka people power susah dikendalikan. Nah pada masa tersebutlah nampak hasil dari benih dan bibit yang disemai oleh BEM UI tersebut. Memang pihak rezim terus memasang buzzer, kakitangannya untuk berkomentar sinis kepada para mahasiswa, tetapi rakyat sudah tau semuanya siapa mereka.


Penulis adalah Ketua Majlis Syura Dewan Dakwah Aceh & Dosen Siyasah Fakultas Syari’ah UIN Ar-Raniry.
Email : [email protected]
Banda Aceh, 02 Juni 2021

Bagikan:

Tinggalkan Komentar