Award Winners

Memaknai Haji Mabrur Dalam Hidup

Memaknai Haji Mabrur Dalam Hidup
Foto: Ilustrasi Haji dan Umrah/deskjabar   
Penulis
|
Editor

Oleh Dr. Imam Shamsi Ali

“Ganjaran haji mabrur itu bukan sekedar menghapuskan dosa. Pemahaman paling benar adalah Haji yang tidak dicampuri dengan dosa.”

HARIANREPORTASE.com — Hari-hari ini jamaah haji non resident (selain yang memang tinggal di Saudi) bersiap-siap untuk kembali ke negara asal masing-masing. Seluruh rangkaian ibadah haji telah selesai.

Sebagian kembali langsung dari Mekah via Jeddah. Sebagian lainnya memenuhi sunnah Rasul mengunjungi masjid Nabawi dan maqam beliau di Madinah.

Pada momen-momen seperti inilah ada perasaan haru bahkan sedih karena akan meninggalkan tanah haram. Tapi juga ada rasa senang dan bahagia karena telah menunaikan sebuah ibadah besar, kewajiban bahkan rukun Islam yang kelima.

Namun pada saat yang sama jamaah yang sadar tentunya tidak hanyut dalam kesenangan yang berlebihan. Tapi juga merasakan dua kemungkinan; harapan hajinya telah diterima?Atau sebaliknya jangan-jangan justeru hajinya tertolak.

Dalam bahasa agama haji yang tertolak dikenal dengan istilah “haj marduud”. Sementara haji yang baik dan diterima oleh Allah SWT dikenal dengan istilah “haj mabrur”. Sebuah ibadah yang pahalanya dijanjikan syurga oleh Allah SWT.

Rasulullah SAW bersabda: “Al-hajju Al-mabrur laesa lahu jazaa illa Al-Jannah” (haji yang mabrur itu tiada balasan baginya kecuali syurga).

Pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah haj mabrur itu? Adakah defenisi yang diberikan oleh para ulama kita?

Baca Juga:  10 DPC Daftarkan Nova Iriansyah Jadi Calon Ketua DPD Demokrat Aceh

Saya mencoba menelusuri beberapa Kitab rujukan, mencari pendapat pada Ulama. Saya pun menemukan beberapa penjelasan yang disampaikan oleh para Ulama kita.

Satu di antaranya adalah Imam an-Nawawi misalnya berkata: “ganjaran haji yang mabrur itu bukan sekedar menghapuskan dosa. Pemahaman paling benar adalah bahwa Haji yang mabrur itu adalah Haji yang tidak dicampuri dengan dosa. Kata ini diambil dari “Al-birr” yang artinya kebaikan”. (Jalaluddin As-Suyuthi, syarha Sunan An-Nasa’i).

Pernyataan An-Nawawi maupun pernyataan para Ulama lainnya sekedar menyampaikan penekanan tentang pahala Haj mabrur. Tapi tidak memberikan defenisi khusus tentang haj mabrur itu. Mereka menekankan bahwa haji mabrur adalah Haji yang telah dilaksanakan secara sempurna sesuai tuntunan Al-Kitab dan as-Sunnah.

Saya lebih tertarik sebenarnya untuk menyampaikan dua hadits yang justeru lebih mu’tabar (menjadi rujukan) sebagai rujukan untuk mendefenisikan haji mabrur ini.

Pertama, diriwayatkan oleh Al-Hakim, bahwa Rasulullah SAW menjawab pertanyaan seorang sahabat: “apa haj mabrur itu wahai Rasulullah? Beliau menjawa: اطعام الطعام وطيب الكلام (memberi makan dan berbicara yang baik).

Kedua, habits Imam Ahmad dalam musnadnya: “para sahabat bertanya: apa haji mabrur wahai Rasulullah? Beliau menjawab: اطعام الطعام وافشاء السلام (memberi makan dan menyebarkan salam).

Baca Juga:  Polda Aceh Gelar Operasi Keselamatan Seulawah Selama 14 Hari

Dari dua hadits di atas, Rasulullah seolah mendefenisikan tentang Haji mabrur dengan tiga hal: 1) memberikan makan. 2) berkata yang baik. 3) dan menebarkan perdamaian.

Saya menyimpulkan dari dua jawaban Rasul itu sebagai berikut: “haji yang mabrur itu adalah haji yang menjadikan pelakunya semakin dermawan, berakhlak mulia dan mampu menciptakan kedamaian dalam kehidupan manusia.

Jika saya ekspresikan dalam bahasa yang lebih sederhana maka saya dapat mendefiniskan haji mabrur sebagai “haji yang telah dilaksanakan sesuai aturan syariah dan memberikan dampak positif dalam hidup pelakunya baik secara vertikal maupun horizontal”.

Dari defenisi sederhana ini kita simpulkan bahwa esensi yang paling mendasar dari haji mabrur adalah “terjadinya perubahan positif” dalam kehidupan seorang haji. Baik pada aspek ubudiyah (ritual) maupun pada aspek mu’amalat (sosial).

Defenisi ini sejalan dengan jawaban Abu Bakar ketika ditanya oleh seorang sahabat di musim haji pertama dalam sejarah Islam di tahun ke 8 Hijriyah. “Apa haji mabrur itu wahai Abu Bakar?” Jawaban beliau: “haji mabrur akan kamu lihat sekembali kamu ke Madinah”.

Jawaban Abu Bakar ini seolah mengatakan bahwa haji mabrur itu akan nampak setelah sang haji kembali ke kampung halaman masing-masing. Di sana akan nampak makna Ihram sebagai komitmen kefitrahan dan ketaatan (labbaik allahumma labbai). Di sanalah akan nampak makna thawaf di Maka Ka’bah (kebenaran) akan selalu menjadi pusat pusaran hidupnya.

Baca Juga:  HUT PPNI Ke-48, DPK PPNI RSUD SAAS Peureulak Gelar Khitanan Massal

Di sana juga akan nampak Sa’i atau usaha dan kerja kerasnya untuk membangun dunia ini sebagai bagian dari tanggung jawab khilafahnya. Tentu tidak kalah pentingnya di sana akan nampak komitmen melempar jumrah sebagai bukti komitmen “amar ma’ruf dan nahi mungkar”.

Semua itu akan dilakukan oleh sang haji hingga masanya melakukan thawaf wada’ sebagai simbol komitmen “Jangan kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim”. Seperti yang dipesankan oleh Rasulullah SAW: “barang siapa yang di akhir hayatnya mengucapkan Laa ilaaha illa Allah” maka dia masuk syurga”.

Kita doakan semoga jamaah haji mendapatkan haji yang mabrur. Tidak saja bahwa hajinya telah diterima sebagai amalan ibadah yang utama dalam Islam dan membawa pengampunan. Tapi tidak kalah pentingnya adalah bahwa pesan-pesan moral haji mereka telah membawa perubahan positif dalam hidup mereka. Lebih khusus lagi dalam hal kebaikan (kindness) dan kedermawanan (generosity), akhlakul karimah (karakter) yang semakin baik, dan memiliki komitmen untuk membangun kedamaian (peace).

اللهم اجعل حجهم مبرورا وسعيهم مشكورا وذنبهم مغفورا ووفقنا واياهم الي كل خير ترضاه

Pesantren Nusantara Madani, 16 Juli 2022

* Presiden Nusantara Foundation

Bagikan:

Tinggalkan Komentar