Award Winners

Film Documentar yang Menghebohkan

Film Documentar yang Menghebohkan
  
Penulis
|

Oleh Shamsi Ali Al-Kajangi

HARIANREPORTASE.com — Dalam perjalanan saya kembali kampung New York kali ini pikiran saya terus menerus digeluti oleh acara maha hebat Kumpul Akbar Paslon Anies-Muhaimin di JIS, Sabtu 10 Pebruari lalu. Hal yang paling berkesan adalah jiwa kerelawanan dan kepahlawanan mereka, para pejuang perubahan itu. Tentu yang paling terdepan adalah Capres-Cawapresnya, Anies-Muhaimin, yang pada malamnya masih menghadiri acara “Desak Anies” di Surabaya hingga jauh malam.

Saya mencoba membanding-bandingkan antara kampanye para paslon yang bertanding di pilpres tahun ini. Perbedaan itu sangat mencolok. Ada yang melakukan kampanye dengan tradisi usang, uang, sembako, joget-joget yang tidak lucu, dan ragam hiburan yang tidak mendidik. Sementara paslon 1 berkampanye dengan membangun jiwa kerelawanan dan kepahlawanan, serta kampanye yang mencerahkan. Debat Anies dan Slepet Muhaimin sebenarnya menjadi kampanye inovatif yang belum terjadi bahkan di negara manapun, termasuk di Amerika.

Sambil membaca-banyak sumber berita, termasuk membuka beberapa akun media sosial, saya dikejutkan oleh kiriman seorang teman dengan dengan judul: Dirty Vote. Awalnya saya kira ini adalah film dokumentar tentang pemilu di sebuah negara Barat.

Saya tidak membayangkan kalau film itu bercerita tentang berbagai pelanggaran, manipulasi, pengangkangan aturan dan etika, dan apapun kata yang anda gunakan terhadap pilpres Indonesia kali ini. Lebih runyamnya lagi karena aktor terutama yang dibicarakan di film itu adalah Presiden RI, orang nomor satu yang seharusnya punya tanggung jawab Konstitusi, moral dan etika untuk menjaga integritàs pemilu.

Baca Juga:  Valentine Day, Kemaksiatan Yang Terpelihara

Begitu banyak hal yang diekspos oleh film Dirty Vote itu. Padahal pak JK menyebutnya film itu hanya menyampaikan sekitar 15% dari berbagai pelanggaran dan manipulasi yang terjadi dalam pilpres kali ini. Namun yang 15% itupun telah membuka, atau tepatnya menguatkan, kembali apa yang sudah lama diberitakan atau diceritakan oleh banyak kalangan. Dari isu upaya penjegalan calon tertentu (baca Anies), cawe-cawe dan keterlibatan langsung dan keberpihakan presiden kepada paslon tertentu, hingga penggunaan aparatur negara (pj kepala daerah/Kades) dan penggunaan fasilitas negara (bansos misalnya) dalam upaya memenangkan paslon yang didukung oleh Presiden.

Tapi akar dari semua pelanggaran dan manipulasi itu adalah cawe-cawe dan keterlibatan Presiden Jokowi dalam menentukan siapa yang boleh maju, dan (keinginannya) untuk mengganjal calon lain untuk maju pilpres. Puncak dari hawa nafsu Presiden untuk mempertahankan kekuasaan itu bukan baru. Dari ragam wacana yang dibangun, penambahan masa jabatan menjadi tiga periode, lalu wacana memperpanjang masa jabatan, konon kabarnya minimal 3 tahun, dan seterusnya.

Nafsu kekuasaan presiden Jokowi ini semakin terbuka dengan terjadinya friksi antara dirinya dan partainya (PDIP). Konon kekecewaan itu menjadi nyata ketika PDIP justeru menolak keinginan Jokowi menambah periode atau minimal menambah masa jabatan. Sejak itu terjadi drama-drama politik yang lucu dan menggelikan. Salah satunya Jokowi semakin lengket dengan PSI, bahkan anaknya (Kaesang) menjadi anggotanya. Tiga hari setelah menjadi anggota Kaesang diangkat menjadi Ketum Partai itu.

Baca Juga:  Bencana dan Transformasi Diri

Anti klimaks dari nafsu kekuasaan Jokoow semakin meninggi ketika partai-Partai Koalisi pendukung jagoannya tidak mampu mencapai kata sepakat tentang siapa yang akan mendampingi Prabowo di pilpres. Tiba-tiba drama yang menggelikan itu terjadi lagi. Wacana mencawapreskan Putra sulung Jokowi (Gibran) semakin menguat. Bahkan dibangun persepsi bahwa dialah yang dapat menyatukan partai-partai koalisi Prabowo.

Dari sini kita semua tahu cerita selanjutnya. Umur Gibran yang belum memenuhi syarat pencawapresan menjadi ganjalan. Maka yang harus dilakukan adalah merubah peraturan itu melalui Mahkamah Konstitusi yang juga diketuai oleh paman Gibran dan adik ipar Presiden. Perubahan itupun terjadi dengan terbukti melanggar etika berat. Sang paman pun harus menerima nasib dipecat dari posisi keketuaan MK.

Dengan lolosnya Gibran melalui proses manipulatif dan nepotis ini, lengkaplah semua alasan untuk Presiden melakukan pelanggaran-pelanggaran. Dan itu dilakukan tanpa malu-malu lagi. Di masa Presiden mana saja sebelumnya tidak ada presiden aktif yang terbuka mendukung, bahkan membuka diri untuk kampanye bagi paslon tertentu. Kali ini bahkan mengatakan terbuka jika presiden bisa mendukung dan berkampanye. Lebih jauh karena Presiden mendukung, terbukalah negara dipakai (aparat dan fasilitas) untuk mendukung dan kampanye bagi paslon tertentu (baca no 2).

Dengan film dokumentar Dirty Vote ini semua praktek-prakte kotor itu semakin jelas. Walaupun sekali lagi bukan hal baru. Karena sesungguhnya semua yang disebutkan di film itu telah beredar dan diketahui oleh publik. Satu di antaranya misalnya adalah pengangkatan Pj kepala daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota). Walau ada dari Tim paslon 2 membantah hal ini, saya pribadi ada interaksi langsung dari salah seorang staf ahli Pj Gubernur itu. Menurutnya, saat ini dialah (staf ahli) yang menangani jabatan Gubenur di daerah itu karena Pj Gubenurnya sibuk kampanye untuk memenangkan Prabowo-Gibran.

Baca Juga:  Sekda OKU Sumsel Miliki 83 Gelar

Saya juga mendengarkan langsung dari beberapa kepala desa (keluarga dan teman) yang konon telah dipanggil oleh polres dan diperintahkan untuk memenangkan paslon no 2. Ada juga kepala desa yang dijanjikan dana desa yang boleh dipakai untuk apa saja (tentu maksudnya alat kampanye) dan tidak akan dimintai pertanggung jawaban asal memenangkan paslon no 2.

Kesimpulannya film dokumentar Dirty Vote sesungguhnya bukan hal baru dan tidak perlu mengejutkan. Bahkan kalau saja kita ikuti semua proses-proses itu, dari pencalonan capres/cawapres hingga ke skandal MK, pastinya bukan simsalabin. Tapi nampaknya sudah dipersiapkan rencana yang matang.

Yang mengejutkan kemudian adalah kepanikan dan respon itu justeru datang dari Tim paslon 2. Bukan dari Presiden, MK, KPU, Bawaslu, dan lain-lain yang menjadi obyek di film itu. Hal yang semakin menguatkan bahwa paslon no 2 hanya ingin berkuasa. Tidak ada keinginan untuk menjaga integritàs pemilu. Bukankah film ini tertujuan menjaga integritàs pemilu, demokrasi dan insitusi kenegraaan?

Wallahu a’lam!

JFK New York, 12 Pebruari 2024

Bagikan:

Tinggalkan Komentar