Award Winners

Pendidikan dan Kemerdekaan

Pendidikan dan Kemerdekaan
Foto Ilustrasi. (Doc : Ist)  
Penulis
|
Editor

Oleh Ahmad Abdullah Rahil Bin Irwansyah S.Akun (Founder Rumah Generasi Mulia (RGM))

HARIANREPORTASE.com — Sudah 78 kali negeri ini memperingati Kemerdekaannya. segala macam jenis seremoni dan helatan pernah diselenggarakan, beragam seragam sudah pernah dikenakan, bermacam slogan sudah pernah di teriakkan. Namun MERDEKA rasanya masih perlu diejawantah secara penuh dan menyeluruh keseluruh penjuru bangsa Indonesia.

Dalam pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, disebutkan “setiap warga negara berhak mendapatkan Pendidikan”, namun mirisnya menurut Direktorat Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil tahun 2022 hanya 6 % Masyarakat Indonesia yang mengenyam Pendidikan tinggi. Hal ini tentu melukai hati tiap-tiap Masyarakat Indonesia, karena negara yang sudah 78 tahun Merdeka ini belum mampu memenuhi hak dasar masyarakatnya.

Belum lagi jika kita lihat sederet fakta sektor Pendidikan di negeri yang katanya Merdeka ini, akhir-akhir ini banyak PTN (perguruan tinggi negeri) yang beralih status menjadi PTN BH (perguruan tinggi negeri berbadan hukum), hal ini memperlihatkan kepada kita bagaimana pendidikan yang merupakan hak dasar mulai dikomersialisasikan. Walaupun tidak secara gamblang, beralihnya PTN menjadi PTN BH menyebabkan biaya kuliah semakin tinggi.

Baca Juga:  DPRA Sahkan APBA Tahun 2022 Hasil Evaluasi Kemendagri

Dampaknya rakyat kecil semakin sulit untuk mendapatkan akses Pendidikan yang bermutu, dikarenakan biaya kuliah yang begitu mahal. Komersialisasi yang dibalut dengan judul “PTN BH” merupakan salah satu bentuk kapitalisasi di sektor Pendidikan, yang mana seharusnya tidak terjadi di Indonesia karena bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Merdeka adalah kebebasan. Kebebasan dari kebodohan, apalagi kebodohan yang disistematiskan. Agar Merdeka tidak lagi menjadi slogan semata, tapi menjadi kenyataan yang menyejukkan dada. Maka jaminan kemerdekaan dalam sektor pendidikan harus segera diselenggarakan, membebaskan belenggu kapitalisme dari instansi-instansi pendidikan kita. Karena sejatinya Pendidikan adalah sarana memupuk kemerdekaan sejak akal pikiran, bukan malah menjadikannya labor pencipta robot kapitalisme, yang terkungkung hidupnya bahkan terkungkung akal pikirannya.

Bagaimana seorang manusia bisa merdeka hidupnya, kalau sedari terlahir ia diajarkan membebek dan membeo pada sistem yang telah dan terus akan menyengsarakan hidup bapak ibunya, hingga nanti anak cucunya. Bagaimana kemerdekaan bisa kita teriakkan begitu lantang padahal kita masih dalam kungkungan penjajahan kapitalisme yang nyata. Bahkan seorang tokoh negara ini mengatakan, bahwa kita malu-malu mengakui bahwa negera ini kapitalis, padahal memang begitu adanya, sungguh miris hati mendengarnya.

Baca Juga:  Al Hudri Gagal Implementasi Pendidikan Islami di Aceh

Dan tak bisa kita elakkan lagi bahwa hal ini pun telah secara terang-terangan memasuki sistem Pendidikan di negara ini.  Kita melihatnya dalam sistem pendidikan kita, dimana memberikan fasilitas yang baik seolah lebih penting daripada memberikan guru yang baik. Kemudian para murid digiring untuk berlomba menjadi yang terbaik, agar bisa mencari sesuap dua suap nasi dari korporasi dan hanya berorientasi materi.

Ini semua kemudian menciptakan manusia yang terus memikirkan keselamatan dan kenikmatan untuk dirinya saja, tanpa peduli keadaan sekitarnya. Padahal seharusnya pendidikan menciptakan agen-agen perubahan yang bisa menelurkan solusi-solusi untuk perbaikan bangsa yang katanya merdeka ini, dan juga mereka yang telah mendapat sentuhan pendidikan harusnya menjadi peluang bangsa bukan malah menjadi beban bangsa.

Sebelum kemerdekaan Indonesia, Datuk Tan menuliskan surat kepada China League For Civil Right tentang kegelisahannya atas kondisi pendidikan yang diberikan Belanda kepada Masyarakat Indonesia. “Sekolah-sekolah Belanda sekarang tujuannya adalah untuk menghapuskan alat yang kuat ini, dan menciptakan orang pemburu kedudukan di kantor, yang pandai membeo dan taat pada hukum(Belanda)” – surat Datuk Tan kepada China League for Civil Right (dalam buku surat-surat Rahasia).

Baca Juga:  Air Terjun Terujak Serbajadi Aceh Timur Masuk Nominasi API Award 2022

Inilah kegelisahan Tan terhadap pola pendidikan penjajah kepada Masyarakat Indonesia, yang membuat karakter masyarakat Indonesia membeo dan taat pada hukum-hukum Belanda. Karena itu dia habiskan umurnya untuk mendidik masyarakat Indonesia, Agar masyarakat kecil mau berjuang melawan penjajahan dan menegakkan kemerdekaan rakyat. Ini dilakukannya bahkan setelah ia berkali-kali diasingkan, karena menurutnya Indonesia harus Merdeka 100 persen, dan salah satu faktor utamanya adalah Pendidikan.

Maka membebaskan sektor pendidikan dari komersialisasi dan kapitalisasi adalah perjuangan masa kini. Hak mendapatkan Pendidikan tidak boleh dikomersialisasi apalagi dikapitalisasi oleh negara, dan Pendidikan Indonesia haruslah bisa menciptakan manusia-manusia yang mampu memerdekakan akal pikirannya, sebelum nanti memerdekakan bangsa ini dari seluruh kungkungan kapitalisme.

Bagikan:

Tinggalkan Komentar