Award Winners

Pj Gubernur Safari Akumulasi Modal Politik

Pj Gubernur Safari Akumulasi Modal Politik
Dr. Taufik A Rahim, Ph.D  
Penulis
|

HARIANREPORTASE.com — Pada saat ini kehidupan politik pemerintahan Aceh terus bergejolak secara diam dan senyap, manufer Pejabat (Pj.) Gubernur Aceh dengan melakukan pergantian para Kepala Satuan Kerja Pemerintahan Aceh (SKPA)/Dinas, Badan dan Lembaga di lingkungan Pemerintah Aceh, meski tampak seakan-akan berlangsung secara normal dan wajar-wajar saja adanya pergantian sebagai proses tanggung jawab kinerja pemerintah.

Namun demikian, dalam kalangan internal Pemerintah Aceh berlaku kasak-kusuk yang berkaitan dengan pergantian, ini disebabkan pergantian tidak lagi berlandaskan atau mengacu kepada “merit system”, bermakna pergantian berdasarkan kepentingan modal politik, bahkan dengan kecenderungan kencangnya berhembus transaksional politik (money politics).

Bahkan praktik pergantian jabatan yang beredar ditengah masyarakat luas, pergantian dikaitkan dengan “balas dendam politik” Pj. Gubernur Aceh, dari berbagai peristiwa sebelumnya dan atau sebelum menjadi Pj Gubernur Aceh. Sehingga jabatan di Aceh meski hanya untuk sekedar mengusi pergantian dan kekosongan jabatan antara 6-8 bulan, ini dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk memperkaya individu, kelompok, kroni dan golongannya dan oligarki ekonomi dan politik yang mendukung modal politik.

Baca Juga:  Pro Kontra Penerapan Kurikulum Prototipe

Maka tidak ada jabatan di Pemerintahan Aceh yang “gratis”, disamping menggunakan analisis “benefit and cost ratio analysis (B/C ratio analysis)”, maka jabatan yang diperoleh dengan analisis proyek untung rugi, menggunakan modal politik, mestilah mendapatkan keuntungan (profit) pada masa akhir jabatan, bahkan dalam masa jabatan yang relatif singkat hitungan bulan minimal pulang pokok atau “break event point/BEP”.

Sehingga safari politik Pj. Gubernur Aceh juga berkaitan dengan berbagai jabatan, baik SKPA, badan dan lembaga yang secara ugal-ugalan diganti sesuai kepentingan, karena melakukan akumulasi modal politik, dan ini juga akan terus berlangsung berhubungan langsung dengan Jakarta sebagai Pusat Pemerintahan Negara.

Kemudian juga melakukan safari ke daerah-daerah berhubungan dengan jabatan Pejabat (Pj.) Bupati dan Walikota, ini dengan cara memanfaatkan waktu berkunjung ke daerah-daerah serta menjaring Calon Pj. Bupati dan Walikota.

Semua ini dilakukan dengan penuh kesadaran serta pertimbangan ekonomis, efektif dan efisiensi, yang paling utama adalah pertimbangan akumulasi modal politik, baik yang telah dan atau sedang serta terus dilakukan untuk menggantikan para pejabat yang dianggap strategis untuk modal politik yang sangat berkecenderungan transaksional politik dilakukan.

Baca Juga:  Imam Besar Mesjid Agung Darussalihin, Aceh Timur, Abi Gureb, Meninggal Dunia

Sehingga berbagai harga jabatan yang beberapa bulan tersebut juga memiliki nilai rupiah yang fantastis jika didengar dari berbagai sumber, maka dampaknya yang dirasakan langsung adalah terhadap kehidupan rakyat Aceh.

Secara realitas kehidupan dengan besarnya jumlah kemiskinan di Aceh sebesar 15,32%  dari 5,85 juta penduduk (BPS) juara satu di Sumatera, dan berada pada posisi keenam dari 34 Provinsi di Indonesia. Demikian pula jumlah pengangguran 6,03% penduduk usia kerja (BPS). Makanya para pejabat publik di Aceh berusaha terus untuk mendapatkan jabatannya agar dapat terus memiskinkan rakyat Aceh.

Dengan demikian, safari politik ke daerah-daerah dan kemudian kembali melaporkannya ke pusat kepada Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) RI mesti dilakukan, sesungguhnya ini mesti dilakukan bahwa sentralisasi kekuasaan dan jabatan publik di Aceh, baik Kepala SKPA, Lembaga dan Badan, kemudian gilirannya adalah Pj. Bupati dan Pj. Walikota adalah dianggap prestasi bagi Pj. Gubernur Aceh, karena yang mengangkat, memberikan Surat Keputusan (SK) Pj. Gubernur Aceh juga Menteri Dalam Negeri (Mendagri).

Baca Juga:  Legalisasi Ganja Sebagai Upaya Pembaharuan Hukum

Ini semua dengan berbagai pertimbangan termasuk pertimbangan transaksional modal politik yang utama. Sehingga sesungguhnya tidak ada jargon “makan siang gratis”, semua mesti dihitung dan dibayar, jargon tersebut hanya digaungkan dan dipopulerkan pada saat Pemilihan Umum (Pemilu) untuk mendapatkan pilihan, perhatian rakyat untuk memilih pada Pemilu.

Selanjutnya jabatan untuk kepentingan politik dan kekuasaan, terutama para oligarki politik dan ekonomi yang terus berusaha mengintervensi kehidupan aktivitas politik di negara ini, juga terus membodohi dan memiskinkan rakyatnya.

Penulis adalah Pengamat Politik dan Ekonomi sekaligus juga akademisi Universitas Muhammadiyah (Unmuha) Aceh, Dr. Taufiq Abdul Rahim, SE., M.Si., Ph.D

Bagikan:

Tinggalkan Komentar