Award Winners

Apakah Aceh Masih Butuh Wali Nanggroe?

Apakah Aceh Masih Butuh Wali Nanggroe?
Jhony Howord. (Wahana Generasi Aceh). (Dok: Ist/Harianreportase.com)  
Penulis
|
Editor

Oleh Jhony Howord (Wahana Generasi Aceh)

HARIANREPORTASE.com — Lembaga Wali Nanggroe dibentuk sebagai implementasi salah satu butir MoU Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dan GAM di Helsinki (15 Agustus 2005). Lembaga tersebut menjadi ikon yang begitu istimewa disaat membahas ke-Acehan. Muncul pertanyaan besar yang tidak kunjung hilang yaitu, apakah Aceh butuh Wali Nanggroe?

Lembaga kekhususan Aceh yang di pimpin oleh paduka yang mulia Malik Mahmud Al Haythar itu tidak lepas dari pro dan kontra hingga saat ini karena dinilai tidak demokratis dan dikuasai oleh sekelompok elit Aceh. Walaupun pada dasarnya lembaga itu diharapkan bisa diterima oleh segenap lapisan masyarakat Aceh.

Lembaga yang disebut dalam Undang-Udang Pemerintahan Aceh (UUPA) sebagai lembaga yang mengatur kepemimpinan adat dan bertindak sebagai pemersatu rakyat Aceh masih belum mampu berjalan dengan baik.

Secara Legitimasi Lembaga Wali Nanggroe sudah banyak menerima penolakan, dan secara otoritas juga menuai banyak polemik di masyarakat Aceh. Sehingga lembaga yang seharusnya mengakomodir seluruh kepentingan rakyat Aceh seolah pincang.

Wacana Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) dan Provinsi Aceh Barat Selatan (ABAS) walaupun dengan dalih pembenaran apapun tetap sebagai bentuk sebuah perpecahan dan gagalnya Wali Nanggroe dalam menyatukan rakyat Aceh. Masih ada Aceh yang merasa diasingkan oleh Aceh, masih ada Aceh yang merasa tidak dipedulikan oleh Aceh, masih ada Aceh yang merasa dibodohi oleh elit politik nya Aceh.

Baca Juga:  Demokrat Aceh Umumkan Pemenang Lomba Karya Kreatif

Jika masyarakat disuruh memilih uang 300 ribu atau angkat tangan dalam mendukung Wali Nanggroe akan banyak yang memilih uang, karena paradigma yang sudah terbentuk pada sebagian masyarakat bahwa lembaga itu milik sekelompok elit Aceh bukan milik masyarakat Aceh. Hari ini yang masih melihat keistimewaan dan kekhususan lembaga itu cuma sebagian dari rakyat Aceh, bukan karena krisis identitas dan pemahaman sejarah tetapi karena eksistensi lembaga itu gagal dihati masyarakat Aceh.

Aceh sudah merajuk banyak peristiwa untuk sampai pada detik ini, pertumpahan darah dan nyawa menjadi saksi bagi Aceh. Sebuah opini yang dipublikasi oleh Acehreal_ pada media sosial nya juga memberikan kesan bahwa Aceh sedang tidak baik-baik saja. Sultan Daud, T. Panglima Nyak Makam, Teungku Chik di Tiro, Daud Beureu’eh, Cut Nyak Dhien, Teuku Umar, Cut Nyak Meutia, Teungku Fakinah, Teungku Chik Kuta Karang dan ratusan ribu pejuang Aceh lain nya mengorbankan nyawa untuk mempertahankan kedaulatan aceh.

Semangat yang sama pada Teungku Hasan di Tiro bersama sebagian pejuang GAM, seharusnya Aceh sudah di posisi Self Government bukan cuma sebatas daerah otonomi yang bisa dicabut kapan saja oleh pemerintah pusat. Hal ini juga pernah dibahas sebelum nya oleh Sufriadi dalam Tesis nya berjudul Wali Nanggroe dalam Konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan akan terus berlanjut oleh generasi berikutnya hingga evaluasi atau bubarnya lembaga itu.

Baca Juga:  Update Gempa Turki, 45 Ribu Jiwa Meninggal Dunia

Masyarakat Aceh menunggu posisi Self Government Aceh seperti opini Martti Oiva Kalevi Ahtisaari. Dalam opininya, Self-Government disebut sebagai kewenangan yang berada satu tingkat di atas otonomi khusus. Dicontohkannya seperti Pulau Aland di Finlandia, dimana bahasa resmi daerah itu adalah bahasa Swedia, berbendera sendiri, bahkan disebut semua kapal angkatan laut dan pesawat udara Finlandia harus meminta izin pemerintah Aland terlebih dahulu sebelum masuk atau melintasi Aland.

Tapi Aceh jauh dari kata itu, Aceh sekarang bukan lagi wilayah berdaulat melainkan sebuah Provinsi di ujung Utara Sumatra.

Secara kolektif seharusnya kita mampu memperjuangkn kedaulatan rakyat melalui wadah Lembaga Wali Nanggroe dan seharusnya mampu mengejar ketertinggalan dan melampaui wilayah-wilayah maju di indonesia. Namun, kelompok elit Aceh seolah terbuai dengan rasa kenyamanan yang dibungkus rapi oleh kata Daerah Istimewa sehingga tidak melihat lagi apa yang dibutuhkan oleh rakyat Aceh.

Baca Juga:  Seleksi PPPK di Lingkungan Pemerintah Aceh 2022 Telah Dibuka, Berikut Jadwalnya

Kelembagaan Wali Nanggroe harus dipertahankan karena merupakan salah satu kekhususan bagi Aceh, namun secara mayoritas masyarakat di Aceh tidak memerlukan Wali Nanggroe. Masyarakat lebih membutuhkan pembangunan ekonomi secara merata dan terjaga perdamaian Aceh.

Tidak bisa dipungkiri, jika kondisi Wali Nanggroe yang apatis terhadap subtansi kemaslahatan dan kesejahteraan semua etnik Aceh masih terus berlanjut maka akan ada gejolak pembentukan Wali Nanggroe tandingan.

Dibutuhkan atau tidak lembaga itu di Aceh bukan berarti anti perdamaian di Aceh. tetapi jika lembaga itu tidak kunjung di evaluasi maka itu faktor yang seharusnya menjadi anti perdamaian dan pemersatu masyarakat Aceh.

Saat ini Aceh butuh upaya masyarakat untuk mengevaluasi lembaga yang disebut sebagai pemersatu rakyat Aceh itu, bukan pembunuhan karakter sang Wali Nanggroe di hati dan batin rakyat, melainkan bagaimana pola kerja Wali Nanggroe yang harus didiskusikan sesuai subtansinya agar legitimasi dan otoritasnya berjalan dengan baik.

Seorang yang dituakan tetapi tidak didengarkan secara mayoritas maka itu disebut kemunafikan. Lantas apakah Aceh masih butuh Wali Nanggroe? Atau Aceh harus bentuk Wali Nanggroe tandingan?

Bagikan:

3 Komentar pada “Apakah Aceh Masih Butuh Wali Nanggroe?”

  1. Ridhwan SPdI berkata:

    Wali Nanggroe masih sangat di butuhkan sebagai lambang perekat rakyat Aceh….
    Wali Nanggroe Aceh mesti di rasakan menjadi milik seluruh rakyat Aceh..bukan milik sekelompok orang saja…
    Upaya wewenang dan fungsi nya mesti di tingkatkan menjadi lembaga tertinggi dalam pemerintahan Aceh….dan lembaga-lembaga istimewa yang ada di Aceh juga di kondisikan untuk bisa ikut mendukung peran walinanggro …maka seluruh perangkat lunak (regulasi ) nya mesti di upgrade juga…

  2. Her berkata:

    Artikel diatas benar adanya,sy sdh mempelajari watak partai bentukan setelah perdamaian gam dan Ri,butir Mou sebenarnya mereka sendiri yg melemahkannya dan sosok wali nanggroe gak ubah nya sama seperti presiden petugas partai yg sering disebut sebut oleh rakyat nya sendiri.saran sy gak usah lagi lah mereka para eks kombatan atau partisipan gam lebih lebih elit nya merasa kedamaian aceh ini antara gam dan republik indonesia saat ini berkat mereka.jgn lupa gempa dan stunami bos.kembali lah ke fitrah manusia gak ada apa apa nya dihadapan sang pencipta.30 tahun RI dan Gam berkonflik ratusan jiwa melayang.seketila 26 des 2004 silam 30 menit bos konflik alam ratusan ribu jiwa melayang.dari sini kalian masih merasa hebat dgn konflik yg kalian buat??
    Marilah sekarang gak usah dendam dendaman lagi sdh byk jawa kawin sama aceh sdh byk aceh tinggal di jawa dan daerah lain nya.yg penting kemakmuran daerah yg memiliki butir butir MOU satu persatu kita wujudkan tapi gak akan jalan tanpa dukungan semua lapisan masyarakat aceh kalo Gam atau Elit pemerintah nya merasa akulah karena aku bla bla bla sampe kiamat pun aceh gak akan maju.hilang kan kesempitan pikiran kalian tanah air aceh ini bukan milik indatu kalian saja jgn merasa aceh yg lain gak angkat senjata sdh kalian bilang tdk berhak mengurus aceh padahal berdarah darah juga dahulu kuliah pada saat masa DOM atau masa gejolak Konflik bersenjata.apa kalian masih mengiginkan nya karena ketidak adilan dari aceh sendiri??semoga Allah menjauh kan kita dari perang saudara..aamiin yaa raabaal alamin.

  3. Mawardi berkata:

    Tak ada yg salah dg keberadaan wali nanggroe atau jabatan wali nanggroe di Aceh, cuma dlm hal ini perlu kita sadari bahwa, keberadaan seorang wali nanggroe dlm beberapa tahun ini tdk sesuai dg hatapan banyak orang (masyarakat Aceh). Keberadaan lembaga wali nanggroe merupakan bahagian dr sebuah kesempatan yg dituang dlm sebuah perjanjian dan diteruskan dg sebuah UU, akan tetapi dlm meng-impelemtakan ada sebuah kesalahan bahkan semacam ada campurtangan politik pihak² yg tdk senang dg sebuah kemajuan yg ada di Aceh. Baik kemajuan dlm sistem ekonomi, pendidikan dan poltik, jika semua itu berjalan sesuai dg ketentuan UU maka Aceh akan menjadi daerah yg maju dan mandi. Jika hal ini tetjajadi maka sdh barang pasti seluruh Provinsi yg ada di Indonesia akan meminta supaya di berikan hak yg sama, dg demikian maka halan ekonomi, politik daripada oknum elit yg ada di pusat akan hilang..!

Tinggalkan Komentar