Award Winners

Jabatan Dalam Sudut Pandang Islam, Dipilih atau Meloby?

Jabatan Dalam Sudut Pandang Islam, Dipilih atau Meloby?
Mahlil Zakaria, S.H.  
Penulis
|
Editor

Oleh Mahlil Zakaria, S.H.

Jabatan atau kekuasan dalam Islam

HARIANREPORTASE.com — Jabatan dan Kekuasaan dalam islam, Allah Swt berfirman; Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai Allah, Pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. Ali Imran 26).

Pergeseran dalil-dalil keabsahan menjadi pemimpin yang disebut illat hukum perlu dicermati secara hukum syariat, apakah mereka yang minta dipilih menjadi penjabat eksekutif, legislatif atau jabatan tertentu pada instansi resmi dan swasta terkategori meminta jabatan yang tercela?

Para ulama memberi penjelasan terkait hal tersebut:

a) Pendapat pertama adalah bahwa minta dipilih dan mengajukan diri adalah terlarang karena ada sebab memuji diri dan mengklaim diri yang juga disebut almuzakki anfusahum dan sistem pemilihan yang keluar dari sistem Islam yaitu demokrasi modern yang dilahirkan oleh sistem sekuler.

Hal ini lazim dipraktekkan pada pemilihan pejabat eksekutif (Presiden, Gubernur, Bupati/walikota, Kepala Desa dsb) dan legislatif (Anggota DPR/DPD);

b) Pendapat Kedua adalah boleh dipilih dan memilih berdasar pada substansi akhir yang diperjuangkan, bila dalam kepemimpinan itu ingin dicapai keadilan, pelaksanaan syariat dan tercapainya Islam Kaffah maka, sarana mencapai itu melalui dipilih dan memilih, status hukum mengikuti hukum sasaran dan tujuan mulia itu.

Zaman sekarang ini sistem dipilih dan memilih, mengenalkan diri dan mendaftar itu adalah satu hal darurat yang tak terelakkan, oleh karena itu perlu dicermati konsekunsinya secara syariat.

Sabda Nabi Saw tentang Meminta jabatan
Seorang sahabat pernah meminta jabatan kepada Nabi Saw, tapi ditolak karena ketidak layakannya itu, umumnya orang yang meminta jabatan itu merupakan orang tidak mampu, dan pada umumnya yang terkategori orang mampu pada urusan tertentu, itu takut meminta jabatan tertentu karena ia tahu liku-liku dan tanggung jawabnya pada urusan itu.

Baca Juga:  Beasiswa KSE 2023 Dibuka, Berikut Syarat dan Cara Daftar

Dari [Abdurrahman bin Samurah] mengatakan, Nabi Saw berkata kepadaku: “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika kamu diberi jabatan dengan tanpa meminta, maka kamu akan ditolong, dan jika kamu diberinya karena meminta, maka kamu akan ditelantarkan, dan jika kamu bersumpah, lantas kamu lihat ada suatu yang lebih baik, maka bayarlah kafarat sumpahmu dan lakukanlah yang lebih baik.”[Bukhari].

Abu Dzar Ra seorang shahabat yang meminta jabatan kepada Nabi Saw, lalu nabi menolaknya:

Dari [Abu Dzar] dia berkata, saya berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah anda menjadikanku sebagai pegawai (pejabat)?” Abu Dzar berkata, “Kemudian beliau menepuk bahuku dengan tangan beliau seraya bersabda: “Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan haq dan melaksanakan tugas dengan benar.” [Muslim].

Nabi Saw bersabda: kalian umumnya dengan antausias pada kepemimpinan padahal itu bisa menjadi penyesalan di akhirat.(HR. Bukhari)

Kepemimpinan dalam Islam

Pada dasarnya dalam kepemimpinan Islam, pemimpin merupakan orang terbaik diantara kalangan tersebut, ia haruslah mempunyai keluasan ilmu, kebijaksanaan, diterima oleh semua kalangan baik mayoritas maupun minoritas serta memimpin atas rasa keadilan dan kemanusian.

Dalam Islam, kepemimpinan (imamah) memiliki tempat khusus karena berkorelasi dengan kesejahteraan umat. Ibnu Manzhur menyebutkan Al-Imam ialah setiap orang yang diikuti oleh suatu kaum, baik mereka yang berada di jalan yang lurus maupun sesat atau dalam bentuk jamaknya diartikan sebagai orang yang meluruskan dan memperbaiki segala sesuatu, maka dalam hal ini, Al-Quran adalah imam bagi kaum muslimin, Muhammad sebagai imamnya para imam, dan khalifah sebagai imam raktyatnya.

Dewasa ini, kepemimpinan juga berkaitan erat dengan keberhasilan dalam menentukan arah kebijakan sebuah bangsa. Banyaknya sistem pemerintahan di negara-negara di dunia, memiliki sudut pandang kelebihan dan kekurangan masing-masing. Personal seorang pemimpin juga dihasilkan dari sistem pemilihan (suksesi) yang ia lalui.

Baca Juga:  Pemerintah Aceh Gelar Rakor Perhubungan Bersama Menhub

Berkaca dari sistem yang ada, sebagai seorang muslim, kita patut mengetahui berbagai cara pemilihan imamah terdahulu.
Beberapa mekanisme cara memilih pemimpin telah dipraktekkan pada masa Khulafaurrasyidin:

1. Musyawarah antara tokoh Muhajirin dan Anshar (Ahlul Halli Wal Aqdi) saat memilih Abu Bakar Shiddiq,

2. Melalui wasiat Abu bakar setelah bermusyawarah dengan sahabat yang lain saat memilih Umar bin Khattab

3. Pembentukan Majelis syura oleh Umar bin Khattab saat pemilihan Usman bin Affan.

4. Musyawarah umat islam saat pemilihan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah.

Kontestasi Pemilu

Dalam konteks kontestasi pemilu yang bertujuan untuk pengisian jabatan-jabatan politik seperti eksekutif dan lembaga legislatif. Syariat menghendaki agar kita menjauhi sikap almuzakki anfusahum (minta dipilih, mengajukan diri, memuji diri dan mengklaim diri).

Seiring dengan berubahnya sifat dan karakter manusia serta sudut pandang dalam melihat sesuatu juga berdampak terhadap pola-pola pemilihan pemimpin di era sekarang, tidak terkecuali di Indonesia yang mentasbihkan demokrasi sebagai cara dalam memilih pemimpin meski pada hal-hal tertentu pengambilan keputusan masih mengagungkan nilai-nilai musyawarah.

Imam Muhammaf Asy-Syairaziy berkata :

Pemilihan itu sangat penting dan urgen dalam hukum Islam, dalam segala tingkatan, pemimpin negara, parlemen dan daerah daerah, pemilihan ini harus bersih, bebas dan valid tidak palsu (curang). hal tersebut merupakan sarana menyeleksi para pemimpin yang memenuhi syarat.

Pendapat ini seperti seperti dikemukakan para syekh yang juga penulis Islam kontemporer Rasyid Ridha, Abu A’la Al-Maududi, Yusuf Qardhawi, Salman Audah dan lainnya. Bahkan, para ulama tersebut mewajibkan memilih dan tidak abstain karena yang dipilh itu penentu kebijakan keseharian muslim, penentu kebijakan ibadah, muamalah, keluarga dan tatanan hukum dan sangsi berbagai kekhilafan atau pelanggaran hukum dan kejahatan di dalam kehidupan masyarakat.

Baca Juga:  Apakah Aceh Masih Butuh Wali Nanggroe?

Perekrutan penjabat struktural/fungsional

Sementara dalam konteks pemilihan atau penentuan para pejabat secara struktural dan fungsional di lembaga-lembaga pemerintah, badan, komisi, swasta maupun lembaga independen telah berkait dengan prosedural yang mengharuskan seseorang untuk mengajukan diri dan memenuhi persyaratan pendaftaran, bila tidak terpenuhi syarat pendaftaran maka tidak mungkin seseorang yang mampu itu bisa tampil mengungguli yang tidak mampu.
Dalam hal ini, pihak yang diberikan kewenangan atau bertanggung jawab untuk memilih wajib bersikap objektif serta memegang teguh amanah, sumpah jabatan, peraturan perundang-undangan dan membuktikan integritas mereka tidak hanya secara lahiriah tetapi secara batiniah.

Penjabat yang dipilih mestilah berdasarkan kapasitas intelektual, berintegritas, memiliki rekam jejak moral yang baik serta mumpuni di bidangnya hal tersebut tercermin dari latar belakang pendidikan, pengetahuan, pengalaman serta visinya yang terukur dan terarah berkenaan dengan jabatan yang daftarkannya.

Jika ada upaya-upaya meminta untuk dipilih atau diberikan jabatan dengan cara cara yang tidak diatur secara formal seperti meloby atau pendekatan khusus yang tidak lazim, menyogok, deal-deal haram, kongkalikong atau membuat kesepakatan jahat untuk meluluskan atau tidak meluluskan seseorang tentu itu merupakan tindakan tidak bermoral, mencederai nilai-nilai integritas, sifat seorang munafik dan telah menzalimi orang lain yang secara ikhlas mendaftarkan diri dan berikhtiar sesuai ketentuan dan prinsip-prinsip kejujuran dalam Islam. Perekrutan harus dilakukan secara fair dan bertanggung jawab.

Kekhawatiran ini semakin beralasan karena fenomena yang ada saat ini, Amanah tidak lagi dianggap sebagai ikhtiar pengabdian dengan pijakan idealisme, tetapi jabatan ditransaksikan secara pragmatis dengan orientasi materialisme.

Wallahu’alam bish-shawaab.

Penulis adalah Alumni Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (USK), Alumni Dayah Darul Yaqin Lhokseumawe, Peminat Keislaman dan Demokrasi tinggal di Lhoksukon, Aceh Utara.

Bagikan:

2 Komentar pada “Jabatan Dalam Sudut Pandang Islam, Dipilih atau Meloby?”

  1. Nazaruddin berkata:

    Mantap, selalu berkaya pak mahlil

Tinggalkan Komentar