Award Winners

Kompleksitas dunia modern dan Solusi Islam (terakhir)

Kompleksitas dunia modern dan Solusi Islam (terakhir)
Dr. Shamsi Ali  
Penulis
|
Editor

Oleh Dr. Imam Shamsi Ali

HARIANREPORTASE.com — Permasalahan-permasalahan dunia modern tidak terbatas pada tataran individu. Bahkan tidak juga sekedar pada tataran keluarga seperti yang disampaikan pada bagian terdahulu. Kompleksitas dunia modern ternyata juga memporak porandakan sendi-sendi kehidupan sosial (publik).

Berbagai konsep kehidupan publik yang kemudian terwujudkan dalam bentuk kebijakan publik (pemerintahan) menggambarkan kompleksitas permasalahan yang ada. Berbagai pandangan dan kebijakan publik itu, kalau saja dipahami dengan penglihatan nurani (murni) pastinya dirasakan sebagai ancaman (threat) kepada kehidupan manusia itu sendiri.

Tentu pandangan dan kebijakan itu tidak terlepas dari konsep kehidupan yang “materialis” tadi. Dalam artian bahwa konsep atau pandangan hidup publik itu bertujuan untuk “serving the interest of materialism” (pemenuhan kepada paham material).

Akibatnya seringkali kita lihat penilaian manusia terbolak balik. Yang benar menjadi salah dan yang salah dan membahayakan kehidupan terbalik seolah menjadi benar dan kebaikan. Bahkan tidak jarang hal yang salah dan membahayakan kehidupan itu dipropagandakan seolah sejalan dengan nilai-nilai universal (kebebasan, HAM, dst.).

Keadaan ini menjadikan manusia semakin buta nurani. Karena selain nuraninya tertutupi oleh paham-paham materialisme tadi, juga terbangun lingkungan publik yang semakin tidak mendukung. Lingkungan yang menina bobokkan seolah semua baik-baik saja. Padahal kenyataannya kehidupan manusia itu semakin membusuk dari dalam.

Melihat dari dekat kehidupan masyarakat modern saat ini, khususnya (so called) dunia Barat, mengingatkan kita kehidupan Romawi dan Persia sebagai dua kekuatan dunia kala itu. Kisah dua bangsa besar itu dikisahkan di surah ke 30 Al-Quran (Ar-Rum).

Baca Juga:  Plt Komut BAS: Masyarakat harus Merasakan Manfaat Kehadiran BAS

Ringkasnya “kerusakan yang terjadi di darat dan dilaut karena tangan-tangan manusia” (Ar-Rum: 41) adalah akibat dari konsep kehidupan “mereka tahu aspek lahir dari kehidupan. Tapi mereka lalai akan hari akhirat” (Ar-Rum: 7).

Surah Ar-Rum menggambarkan berbagai krisis dunia di tengah kemajuan (soliditas) kehidupan dunia ketika itu. Roma dan Persia pada masanya adalah dua bangsa super power yang saling berkompetisi, bahkan kerap ingin saling mengeliminir satu sama lain.

Jika melihat kepada kehidupan dunia modern kita saat ini, maka yang terjadi adalah gambaran kehidupan ketika itu. Kemajuan dunia (ekonomi, sains dan teknologi) bahkan kemajuan keilmuan tidak menjadikan manusia lebih berilmu dan berakal. Justeru seringkali prilaku mereka menggambarkan titik nadir kejahilan yang memalukan.

Di sìnilah kemudian Islam hadir sebagai rahmah (solusi) bagi kehidupan jama’i (publik) manusia. Tulisan ini pastinya tidak merincikan bagaimana solusi yang dihadirkan oleh Islam untuk kehidupan jama’i manusia. Justeru yang ingin saya ingatkan kepada kita adalah satu realita sejarah dalam perjalanan agama dan Umat ini. Fakta itu adalah pembentukan kehidupan jama’i (publik) pertama dalam sejarah Islam.

Pembangunan kehidupan komunal (jama’i) dalam Islam itu berawal dengan hijrahnya Rasulullah SAW ke kota Yatsrib pada sekitar tahun ke 13 kenabian. Perpindahan atau hijrah Rasulullah dari Mekah ke Yatsrib itu sekaligus merupakan langkah pertama (first step) dalam pembangunan kehidupan Umat secara komunal.

Itulah salah satu alasan kenapa penanggalan atau kalender Islam diawali dengan Hijrahnya Rasulullah SAW. Karena hijrah merupakan simbolisasi kebangkitan Umat secara komunal (jama’i) dan publik.

Baca Juga:  Pujian vs Keritikan itu!

Dalam hal ini ada satu hal penting yang ingin saya garis bawahi sebagai landasan untuk memahami bagaimana Islam hadir dengan konsep kehidupan jama’i (publik) itu. Yaitu konsep “Madinah” yang sekaligus menjadi nama baru bagi kota Yatsrib tadi.

Ketika kita mendengarkan kata “Madinah” (المدينة) biasanya yang hadir di imajinasi kita adalah gedung-gedung dan segala kemajuan dunia seperti yang nampak di kota-kota besar dunia. Ambillah sebagai misal kota Manhattan (NYC), Paris, Sorbonne, Tokyo, dan lain-lain.

Madinah memang secara literal berarti kota. Tapi ternyata kata Madinah memiliki makna yang lebih jauh dari sekedar kota. Kota dengan segala kemajuan dan hiruk-pikuk dunianya hanyalah satu aspek dari kota.

Kata Madinah (المدينة) berasal dari kata “دان يدين دين” atau “Diin”. Kata diin ini menjadi pokok utama dari Madinah atau kota sebagai pusat kehidupan sebuah bangsa atau masyarakat.

Kata “diin” ini selain melahirkan kata madinah yang dipaham sebagai “perkotaan” juga dapat dimaknai sebagai “tamaddun” atau pusat peradaban. Sehingga masyarakat yang hidup di kota itu pastinya adalah masyarakat yang “mutamaddin” (civilized/berperadaban). Masyarakat dengan karakter peradaban ini dikenal secara luas dengan “masyarakat madani”.

Namun yang lebih mendasar dari semua itu, kata kata “diin” ternyata bermakna “ketaatan” kepada Pencipta langit dan bumi. Al-Quran menggariskan: “ومن اسلم وجهه لله وهو محسن فله اجره عند ربه” (Al-Baqarah: 112).

Sehingga dengan sendirinya kata المدينة (Madinah) tidak bisa dilepaskan dari “ketaatan dan religiositas” masyarakatnya. Sebuah masyarakat atau bangsa yang beradab tak akan bisa dilepaskan dari nilai-nilai religiositas ini.

Baca Juga:  Ketua Komisi VI DPRA : Tidak Patut Kadisdik Aceh Ultimatum Kepsek Terkait Vaksinasi Siswa

Inilah salah satu makna dari keputusan Rasulullah SAW ketika pertama kali tiba di Yatsrib adalah membangun masjid (Kuba). Masjid berarti tempat sujud. Dan sujud sejatinya dimaknai sebagai ketaatan kepada Allah SWT. Sehingga masjid yang dibangun oleh Rasulullah itu mengingatkan Umat jika kota/negara yang akan terbangun itu mutlak berkarakter ketaatan kepada Allah SWT.

Realita ini sesungguhnya juga disadari oleh para pendiri bangsa (founding fathers) baik Indonesia maupun Amerika. Indonesia terpatri pada Pancasila dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara di Amerika ungkapan: “Under God” atau “In God we trust” adalah ungkapan yang sangat populer.

Kesimpulan yang ingin saya sampaikan adalah bahwa Islam itu hadir membawa konsep kehidupan publik (jama’i). Dan hal yang paling mendasar dalam tatanan kehidupan jama’i dalam Islam adalah tegaknya nilai-nilai Ketuhanan (kesucian/kefitrahan) dalam kehidupan manusia.

Inilah sesungguhnya yang ditegaskan oleh Al-Quran: ولو أمن اهل القري واتقوا لفتحنا علهم بركات من السماء والارض (kalau saja penduduk negeri itu beriman dan bertakwa niscaya Kami (Allah) akan bukakan bagi mereka berkah-berkah langit dan bumi).

Semoga catatan ini menyadarkan kita bahwa agama dan ketaatan kepada Pencipta menjadi dasar terwujudnya ketentraman dan kesejahteraan hidup manusia. Sesuatu yang justeru dalam dunia modern saat ini terabaikan, bahkan dianggap antithesis dari kemajuan itu.

Semoga Allah menjaga kita!

Jamaica City, 6 Januari 2023

* Presiden Nusantara Foundation

Bagikan:

Tinggalkan Komentar