Award Winners

Trias Politica Pemerintah Aceh

Trias Politica Pemerintah Aceh
Dr. Taufik A Rahim, Ph.D  
Penulis
|
Editor

Oleh Dr. Taufik A Rahim, Ph.D

HARIANREPORTASE.com — Dalam khazanah politik modern, baik secara keilmuan maupun praktik kekuasaan, adanya kesejajaran posisi, kedudukan, kekuasaan politik antara eksekutif, lergislatif dan yudikatif. Sehingga tidak ada kekuasaan dominan dalam aktivitas politik dan kekuasaan diantara ketiganya.

Hal ini menjadi penting dalam usaha menciptakan demokratisasi kekuasaan untuk menciptkana kehidupan rakyat/masyarakat menjadi lebih baik, konsisten serta bertanggung jawab.

Dalam praktik politik kekuasaan di Aceh saat ini, terjadi kesalahan fatal dan tidak dapat ditolerir yakni, ekesekutif ataupun Pj. Gubernur Aceh merasa sangat berkuasa, sehingga baik disengaja ataupun tidak melecehkan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh/DPRA).

Hal sangat tidak terhormat atau dapat dibanggakan, dimana seolah-olah Pj. Gubernur Aceh sebagai pemegang kekuasaan yang sangat penuh di Aceh, bahkan cenderung mempraktikkan kebijakan serta perilaku otopriter ditengah kehidupan rakyat Aceh.

Baca Juga:  Aceh Hijau Latih Fasilitator Dayah Ramah Anak Terintegrasi

Sementara Pj. Gubernur Aceh dalam praktik dan politik kenegaraan saat ini, secara sistem dan ketentuan kebijakan politik bukanlah orang yang dipiih oleh rakyat Aceh. Sebaiknya perilaku buruk dan tidak berakhlaq ini, sebaiknya tidak diperlihatkan serta dipertontonkan kepada rakyat Aceh. Karena DPRA bukanlah bawahan Pj. Gubernur Aceh, dalam posisi serta kedudukan kekuasaan politik sama sebagai pemegang mandat politik sebagai pengesahan atau penetapan undang-undang (legislasi), pengesahan anggaran dan pengawasan.

Oleh karena itu, DPRA mesti mempertegas diri dalam kekuasaan politik di Aceh bukan sebagai “subordinat” dari Pemerintahan Aceh atau Pj. Gubernur Aceh, sehingga ada kebijakan penting yang mesti ditetapkan oleh DPRA, meskipun pengangkatan Pj. Gubernur Aceh bukan sepenuhnya dibawah koordinasi dan tanggung jawab legislaatif (DPRA) yang merupakan representaif dipilih rakyat Aceh.

Baca Juga:  Dongkrak Ekonomi Masyarakat, Baitul Mal Aceh Bangun Cotagge VIP Wisata Bahari Pulau Panjang, Pulo Banyak

Sehingga DPRA mesti berfikir logis serta berakal, jangan biarkan perilaku politik yang tidak terhormat dan berakhlaq ataupun beretika dilakukan oleh Pj. Gubernur Aceh, sehingga tidak semua gagal nalar, termasuk DPRA yang dapat saja mengambil dan menetapkan kebijakan politik terhadap Pj. Gubernur Aceh yang sama sekali tidak pro-rakyat, sewenang-wenang, dan terkesan mempraktikkan politik “neo-kolonialisme” di Aceh.

Dengan demikian, ini tidak dapat dibiarkan sehingga menjadi berlarut-larut ditengah kesusuahan hidup rakyat pada berbabagi bidang kehidupan, serta sedang terus di”demam”kam, bahkan demikian “kental amis politik” saat ini terus ditebarkan dalam berbagai kebijakan pemerintah dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Termasuk upaya terus menggiring opini, suasana dan fenomena politik, yang seolah-olah pesta demokrasi politik pada tahun 2024 yang akan datang hanya urusan Pemerintah Pusat Jakarta saja yang mesti diperhatikan.

Baca Juga:  Dosen Prodi THP Faperta USK Lakukan Pengabdian Diversifikasi Tepung Mocaf di Aceh Besar

Sementara itu, banyak persoalan Aceh yang tidak terselesaikan tuntas, termasuk kondisi kehidupan rakyat yang fundamental yaitu, kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan dalam berbagai dimensi kehidupan rakyat Aceh, maka para aktor politik Aceh juga mesti berfikir untuk Aceh secara terfokus dan yang saat ini berada dalam kekuasaan legislatif (DPRA dan DPR Kabupaten/Kota) mesti berfikir untuk Aceh. Jika tidak tandai mereka jangan dipilih, karena hanya berfikir untuk kepentingan politik pribadi, partai dan kelompoknya saja, Aceh juga tidak memerlukan para aktor politik dan politisi yang gagal nalar.

Penulis adalah Pengamat Politik Aceh dan juga Akademisi Universitas Muhammadiyah Aceh (Unmuha).

Bagikan:

Tinggalkan Komentar