Award Winners

Disahkan Hari Ini, Berikut Sejumlah Poin Kontroversi pada RKUHP

Disahkan Hari Ini, Berikut Sejumlah Poin Kontroversi pada RKUHP
Foto Ilustrasi. Doc: Istimewa  
Penulis
|
Editor

Jakarta, HARIANREPORTASE.com — Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah berencana mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP dalam rapat paripurna dewan Hari ini Selasa, 6 Desember 2022, meskipun masih ada Sejumlah Poin Kontroversi pada RKUHP tersebut.

Masyarakat sipil menilai pembahasan RKUHP masih belum mengakomodasi berbagai kritik dan masukan yang diberikan kepada pemerintah dan DPR.

Berdasarkan pemantauan sementara Aliansi Nasional Reformasi KUHP, pasal-pasal yang terkandung dalam draf akhir RKUHP masih memuat pasal-pasal anti demokrasi, melanggengkan korupsi di Indonesia, membungkam kebebasan pers, menghambat kebebasan akademik, mengatur ruang privat seluruh masyarakat, diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok marginal, mengancam keberadaan masyarakat adat, dan memiskinkan rakyat.

Berikut Sejumlah Poin Kontroversi pada RKUHP :

1. Pasal terkait living law atau hukum yang hidup di masyarakat

Aturan ini merampas kedaulatan masyarakat adat yang berpotensi menjadikan hukum adat disalahgunakan untuk kepentingan pihak tertentu. Jadi, pelaksanaan hukum adat yang sakral bukan lagi pada kewenangan masyarakat adat sendiri melainkan berpindah ke negara: polisi, jaksa, dan hakim.

Hal ini menjadikan masyarakat adat kehilangan hak dalam menentukan nasibnya sendiri.

Selain mengancam masyarakat adat, aturan ini juga mengancam perempuan dan kelompok rentan lainnya. Sebagaimana diketahui, saat ini di Indonesia masih ada ratusan Peraturan Daerah (Perda) diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya.

2. Pasal terkait pidana mati

Keberadaan pasal terkait pidana mati di RKUHP juga mendapat sorotan Internasional.

Baca Juga:  PPKM Level 4 Diperpanjang Hingga 9 Agustus 2021

Dalam Universal Periodic Review (UPR) setidaknya terdapat 69 rekomendasi dari 44 negara baik secara langsung maupun tidak langsung menentang rencana pemerintah Indonesia untuk mengesahkan RKUHP, salah satunya rekomendasi soal moratorium atau penghapusan hukuman mati.

Banyak negara di dunia yang telah menghapus pidana mati karena merampas hak hidup manusia sebagai karunia yang tidak bisa dikurangi atau dicabut oleh siapapun, bahkan oleh negara.

Selain itu, banyak kasus telah terjadi dalam pidana mati yakni kesalahan penjatuhan hukuman yang baru diketahui ketika korban telah dieksekusi.

3. Larangan penyebaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum.

Pasal ini berpotensi mengkriminalisasi setiap orang terutama pihak oposisi pemerintah karena tidak ada penjelasan terkait “paham yang bertentangan dengan Pancasila”, yang mana akan menjadi pasal karet dan dapat menghidupkan konsep pidana subversif seperti yang terjadi di era orde baru.

4. Penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara

Pasal ini juga berpotensi menjadi pasal pasal anti demokrasi karena tidak ada penjelasan terkait kata “penghinaan”. Pasal ini berpotensi digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah dan lembaga negara.

5. Contempt of court

Tidak ada penjelasan yang terang mengenai frasa “penegak hukum” sehingga pasal tersebut berpotensi mengkriminalisasi advokat yang melawan penguasa.

Sebagaimana diketahui, terjadi banyak kasus di persidangan yang menunjukkan bahwa hakim berpihak kepada penguasa. Selain itu, pasal ini juga mengekang kebebasan pers karena larangan mempublikasi proses persidangan secara langsung.

Baca Juga:  Peran Penting Orang Tua Terhadap Pendidikan Anak

6. Kohabitasi atau hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan

Dan dalam pasal tersebut, tidak ada penjelasan terkait hidup bersama sebagai suami istri. Sehingga pasal ini berpotensi memunculkan persekusi dan melanggar ruang privat masyarakat.

7. Penghapusan ketentuan yang tumpang tindih dalam UU ITE

Seharusnya yang dilakukan adalah mencabut seluruh ketentuan pidana dalam UU ITE yang duplikasi dalam RKUHP, tidak hanya pada Pasal 27 ayat(1), 27 ayat (2), dan 28 ayat (2) UU ITE seperti (a) Pasal 27 ayat (1) , ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU ITE; (b) Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE; (c) Pasal 29 UU ITE.

Selain itu, frasa “melakukan melalui sarana teknologi sebagai pemberat menjadikan hal ini berbahaya karena misalnya, seseorang yang terkena ancaman pidana fitnah, bisa mendapat tambahan pidana dengan adanya frasa ini.

8. Pasal tentang Unjuk Rasa

Pasal ini seharusnya memuat definisi yang lebih ketat terkait “kepentingan umum” karena frasa ini berpotensi menjadi pasal karet yang bisa mempidana masyarakat yang melakukan unjuk rasa untuk menagih haknya.

Dan Frasa “pemberitahuan” seharusnya perlu diperjelas dan bukan merupakan izin, sehingga hanya perlu pemberitahuan saja ke aparat yang berwenang dan tidak ada pembatasan tiga hari sebagaimana janji pemerintah.

9. Penghapusan Unsur Retroaktif pada Pelanggaran HAM berat

Baca Juga:  BEM Poliven Salurkan Bantuan untuk Korban Banjir di Aceh Timur

Dalam naskah terakhir dari RKUHP, negara menerapkan asas non-retroaktif, artinya kejahatan di masa lalu tidak dapat dipidana dengan peraturan baru ini.

Dengan diaturnya pelanggaran HAM berat di RKUHP menandakan bahwa segala pelanggaran HAM berat masa lalu dan semua pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum disahkannya RKUHP tidak dapat diadili.

Selain itu, masa daluarsa yang diatur di RKUHP juga terlalu singkat, padahal pelanggaran HAM berat mustahil untuk diselesaikan dalam waktu yang sebentar, apalagi para pelakunya merupakan orang yang memiliki kuasa dan sumberdaya lebih untuk menghambat proses hukum.

10. Pasal yang Mengatur Kohabitasi Berpotensi Mempidanakan Korban Kekerasan seksual.

Adanya pasal yang mengatur kohabitasi berpotensi mempidanakan korban kekerasan seksual.

11. Meringankan Ancaman bagi Koruptor

Dalam draf RKUHP terakhir, ancaman terhadap koruptor terlalu ringan dan tidak memberikan efek jera terhadap koruptor yang di mana tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang berdampak luas bagi masyarakat.

12. Korporasi sebagai Entitas Sulit Dijerat

Draft RKUHP terakhir telah menambahkan syarat pertanggungjawaban korporasi.

Namun, pertanggungjawaban korporasi masih dibebankan kepada pengurus. Kecil kemungkinannya korporasi bertanggung jawab sebagai entitas.

Pengaturan seperti ini justru rentan mengkriminalisasi pengurus korporasi yang tidak memiliki kekayaan sebanyak korporasi dan pengurus dapat dikenakan atau diganti hukuman badan. Pengaturan ini juga rentan mengendurkan perlindungan lingkungan yang mayoritas pelakunya adalah korporasi. (tempo.co)

Bagikan:

Tinggalkan Komentar