Award Winners

Marwah Pendidikan Indonesia Di Mata Dunia

Marwah Pendidikan Indonesia Di Mata Dunia
Tgk. Syamsul Bahri, S.Pd.I., M. Pd (Doc: Harian Reportase)  
Penulis
|
Editor

Oleh Tgk Syamsul Bahri, M.Pd

“Sistem dan Marwah pendidikan harus menjadi perhatian khusus para pengelola pendidikan di Indonesia,”

Harian Reportase — Sejak tahun 2000, Indonesia dan beberapa negara lain telah mengikuti tes PISA (Program for International Student Assessment) setiap tiga tahun sekali.

Tes PISA terbaru diadakan pada tahun 2018, dan OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) baru saja merilis hasil skor tes PISA 2018.

Bagi yang belum tahu dan belum melihat, hasil tes PISA untuk Indonesia mungkin justru membuat kita tidak senang dengan keadaan pendidikan di Indonesia. ternyata, dibandingkan dengan negara lain, skor PISA kita agak rendah.

Menurut refo indonesia, meskipun skor PISA Indonesia telah berubah sejak awal keikutsertaannya pada tahun 2000, namun secara umum hanya ada sedikit pertumbuhan antara tahun tersebut dan 2018.

Sementara itu, menurut Dr. Waode Nurmuhaemin, M.Ed (Praktisi Pendidikan), setiap saat hasil tes PISA dirilis, peringkat Indonesia juga berada di bawah sepuluh besar.

Beberapa bahkan mengolok-olok fakta bahwa mencari peringkat Indonesia tidak perlu melihatnya dari atas; cukup cari sepuluh ke bawah untuk membuatnya sederhana dan menghindari melelahkan mata.

Hasil PISA dapat memberikan umpan balik yang objektif tentang perubahan masa depan yang perlu dilakukan, menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim. Juga dapat menjadi contoh atau titik perbandingan bagaimana negara lain memandang sistem pendidikan Indonesia.

Pemerintah juga akan menyusun rencana strategis, khususnya terkait dengan pemerataan pendidikan.

Skor PISA secara keseluruhan didasarkan pada tiga faktor, Pertama adalah membaca, diikuti oleh matematika, lalu sains.

Baca Juga:  Orang yang Mendapatkan Syafaat Telaga Kautsar

Di ketiga bidang ini, skor Indonesia telah turun sejak tes PISA terbaru di tahun 2015; sebagai hasilnya, negara ini sekarang berada di peringkat 70-an dari 78 negara, atau di peringkat 10-an, kelompok terendah dari hampir 80 negara.

Mungkin banyak dari kita bertanya-tanya, emang PISA itu apa? emangnya PISA itu penting?.

Untuk menjawab pertanyaan itu, sebetulnya kita perlu kembali kemasa-masa di saat PISA mulai dibentuk, kita perlu melihat sejarah kenapa kalau PISA bisa ada, emang sejarahnya
gimana?.

Mungkin banyak dari kita tidak yakin dengan survei PISA yang sebenarnya.

Apakah PISA benar-benar signifikan? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita sebenarnya perlu melakukan perjalanan kembali ke masa ketika PISA dibuat. Kita juga perlu menelaah sejarah mengapa PISA diciptakan.

Negara-negara mulai melihat penilaian pendidikan, tetapi OECD pada saat itu memiliki perspektif yang sangat berbeda dari biasanya dalam hal penilaian dan ujian siswa. Akibatnya, PISA dibuat.

Tujuan PISA bukan untuk menilai pengetahuan siswa tentang hal-hal yang dapat mereka pelajari atau pertahankan, oleh karena itu penekanannya bukan pada menghafal.

Sebaliknya, PISA melihat seberapa siap anak-anak untuk hidup, terutama mereka yang berusia 15 tahun. karena penyelenggara PISA memahami bahwa menghafal saja tidak akan memungkinkan kita menjalani kehidupan yang memuaskan.

Sistem pendidikan harus menempatkan penekanan yang kuat pada tiga hal.

Pertama, kita harus mempertimbangkan apakah siswa kita akan mampu menangani masalah di masa depan ketika semua pekerjaan telah berubah, robot terus muncul, dan sebagainya.

Baca Juga:  Kisah Guru Mengaji Diterima Kuliah Gratis 100 Persen di UGM

Kedua, setelah lulus, apakah murid-murid ini mampu menganalisis dan menalar secara logis? Ini sangat penting, karena jika logikanya buruk, instruksi apa pun yang diberikan kepada mereka mungkin tidak diterima secara memadai.

Ketiga, dapatkah para siswa ini terus belajar setelah mereka lulus selama sisa hidup mereka?

Maka dari itu, muncullah tiga aspek penting yang diukur PISA, yakni membaca, matematika dan sains.

Tiga aspek ini diukur untuk menjawab 3 pertanyaan tadi, reading untuk belajar, math and logic buat mikir dan scientific literacy agar kita biasa memproses hal-hal baru.

Saat PISA dibentuk, sebetulnya terdapat kasus, dimana tenaga yang siap bekerja dan lulusan pendidikan itu sudah banyak sekali, sudah banyak sekali orang yang lulus kuliah, tapi masalahnya adalah skillnya itu nggak mix dan match dengan yang dibutuhkan industri, makanya banyak pengangguran.

Ibaratnya yang kita pelajari di sekolah itu dalam tanda kutip “kurang kepake” saat kita mau bekerja di industri.

Fenomena ini sudah banyak dibahas oleh para peneliti pendidikan tentang apa saja hal yang seharusnya diajarkan di sekolah (personal finance, relationship, karir, critical thinking and logical reasoning, dan sejarah agama dan aliran filsafat).

Intinya, hal atau pengetahuan yang kita pelajari dan kita dapatkan di sekolah seperti fisika, geografi, biologi dan sebagainya itu ternyata nggak kepake-pake banget saat kerja dan merasa nggak dibutuhkan oleh industri.

Disisi lain, industri itu berkembang sangat cepat, banyak skill-skill baru yang dibutuhkan di market, tapi, tenaga kerja yang sudah lulus itu nggak mendapatkan pelajaran tentang skill-skill yang dibutuhkan itu.

Baca Juga:  Rekam Jejak Erupsi Gunung Semeru

Pas SD sampai SMA kita nggak pernah belajar tentang youtube atau sosial media di sekolah, tapi ternyata sekarang, banyak banget kan, pekerjaan yang berkaitan dengan sosmed.

Banyak startup bermunculan yang mendukung skill, yang dibutuhkan untuk pendidikan di abad 21.

Masalahnya juga industri cepat sekali berkembang, pasti ada saja skill baru yang dibutuhkan di market dan banyak pekerjaan-pekerjaan baru yang muncul yang tidak pernah ada sebelumnya.

Youtuber baru muncul mungkin awal 2007-2008. Makanya sebuah negara dikatakan perlu skor PISA  yang tinggi, maka harus bisa beradaptasi dengan pekerjaan-pekerjaan dan tantangan baru itu.

Terakhir, tiga provinsi yakni Jakarta, Yogyakarta, dan Bangka Belitung mengikuti Tes PISA kali ini sekitar Mei 2022.

Tes PISA tahun ini berbeda dari sebelumnya karena Covid 19 telah menyebabkan hilangnya pembelajaran (learning loss) di semua negara.

Namun, ada banyak kepercayaan publik atas peningkatan hasil PISA di bawah Menteri Nadiem Makarim, khususnya di kalangan pendukung pendidikan Indonesia.

Dengan inisiatifnya membangun kurikulum merdeka belajar. Semoga skor Indonesia lebih baik pada tes PISA kali ini. Amin.

والله الموفق إلى أقوم الطريق
Wallahul Muwaffiq ila Aqwamit Tharieq

Penulis adalah Pengurus Dayah Samudera Pasai Madani Aceh Besar dan Mantan Sekretaris Umum Remaja
Masjid Raya Baiturrahman Aceh, Ketua PAC Pergunu cabang Darul Imarah Aceh Besar dan pengurus Dayah Samudera Pasai Madani (DSPM) Aceh.

Bagikan:

Tinggalkan Komentar