Award Winners

Monyet Yang Makan Pisang, Ayam Yang Disalahkan!

Monyet Yang Makan Pisang, Ayam Yang Disalahkan!
dr. Zainur Hafiz Yusa (Doc: Ist)  Harian Reportase
Penulis
|
Editor
Oleh : dr. Zainur Hafiz Yusa

“Monyet Yang Makan Pisang, Ayam Yang Disalahkan!” Judul ini kemungkinan dapat menggambarkan situasi saat ini di kalangan dokter bawah.

Harian Reportase — Polemik pemecatan TAP terus bergulir, bahkan menjadi bola panas yang menggelinding tak tentu arah. Sebagian ada yang mendukung TAP, sebagian yang lain mendukung Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tetap satu. Bahkan, bola panas ini sendiri terus bergulir di kalangan internal IDI, khususnya para “dokter muda” yang masih harus berjuang dengan kesejahteraan hidupnya.

Judul di atas kemungkinan dapat menggambarkan situasi saat ini di kalangan dokter bawah. Jika rakyat Indonesia yang secara data memiliki tingkat literasi yang rendah, sehingga masih belum bisa membedakan antara “temuan baru” atau “temuan yang sengaja dibuat baru”.

Terlebih para wakil rakyat di Senayan yang notabene “membela” TAP habis-habisan, sehingga nalar pikir untuk membedakan “organisasi profesi” dan “organisasi masyarakat” saja masih belum bisa. Tentu hal ini juga berdampak pada para “dokter muda” tersebut.

Para dokter muda ini seakan seperti bola pimpong yang bisa dibawa kesana kemari (re : pemikiran). Satu sisi mereka jengah dengan IDI yang seakan lepas tangan terhadap junior-juniornya yang baru lulus, di sisi lain mereka juga berharap banyak pada konflik ini supaya menjadikan IDI lebih kuat sehingga dapat memperjuangkan kesejahteraan yang layak bagi mereka.

Baca Juga:  Seleksi CPNS 2023 Akan Menggunakan Meterai Elektronik. Berikut Cara beli dan Cara Pasang Meterai

Literasi mengenai organisasi yang kurang, anekdot yang dari dulu ditanamkan bahwa yang namanya “temuan baru” harus selalu didukung oleh negara dan rakyat, dan kemampuan untuk “menghilang” dari polemik ini (sengaja acuh tak acuh) membuat mereka bagai perahu pengungsi Rohingya yang terombang-ambing di lautan lepas.

Penulis sengaja mengangkat isu ini dari kacamata dokter muda, hanya untuk menyadarkan kita, bahwa yang namanya konflik pasti ada sebab dan akibat. Sebab konflik ini yang bermula dari TAP yang secara terbuka mempromosikan metode”brain wash” sebagai terapi, bukan sebagai alat diagnostik, tentang perannya di PDSRI yang seenak hati mengubah nama menjadi PDSRKI tanpa melalui mekanisme yang sah sesuai AD/ART organisasi, dan terakhir tentang vaksin nusantara, mengakibatkan dirinya disarankan dipecat secara permanen oleh MKEK kepada pengurus IDI sebagai anggota.

Baca Juga:  Wanita Berpistol Terobos Istana, Ini Kata Komandan Paspampres

Oleh karena sebab dan akibat tersebut, mestinya para “dokter muda” sebagai insan cendekia yang sejak awal kuliah kedokteran diajarkan bahwasanya di dalam dunia kedokteran, segala sesuatu mesti melalui “uja dan uji” terlebih dahulu, bahwa testimoni bahkan dari pakar sekalipun, tidak bisa menjadikan suatu teori dianggap valid secara EBM, mesti belajar kembali, bahwasanya konflik yang terjadi saat ini antara TAP dan IDI merupakan konflik etika kedokteran. Etika yang seringkali dilabrak oleh sosok fenomenal yang berinisial TAP, sosok yang dibela oleh para wakil rakyat dan pejabat-pejabat tinggi di negara kita, hanya karena pejabat tersebut berhasil “tertipu” oleh testimoni semata.

Sebagai dokter muda, kejengahan akan perjuangan kesejahteraan yang dianggap belum mumpuni dilakukan oleh senior kita yang berhimpun di IDI, jangan menjadikan satu alasan untuk membenci organisasi profesi kita ini. Bijaklah dalam menilai suatu masalah, jangan menyalahkan ayam ketika sebenarnya monyet yang memakan pisang!

Baca Juga:  Besok Kembali, Jama'ah Haji Kloter 01 Aceh Tuntaskan Thawaf Wada'

Dengan terbukanya momentum konflik antara TAP vs IDI ini, sebijaknya kita dapat mengambil pelajaran, dimana tingkat pemahaman konflik yang sangat kurang diantara kita, ditambah dengan persepsi jenuh yang terjadi, haruslah membuka mata cendekiawan kita, bahwasanya kita harus kembali belajar mengenai etika kedokteran dan EBM, bukankah kita selalu menggaungkan bahwa menjadi dokter berarti menjadi “budak pengetahuan”? Menjadi dokter adalah “belajar seumur hidup?” Walaupun di sisi lain, kesejahteraan kita masih kurang sana-sini, tapi dengan adanya IDI, kesejahteraan itu tidak mundur seribu langkah, melainkan hanya seratus langkah.

Mari terus support organisasi profesi kita ini, walaupun masih jauh dari kata mirip dengan American of Medical Association, tetapi paling tidak dengan adanya momentum ini, kita dapat bersatu-padu menjadikan IDI menjadi lebih kuat. Bukankah tidak menutup kemungkinan ketika IDI nantinya menjadi lebih kuat dan dapat bersanding dengan AMA, kesejahteraan kita juga dapat bersanding dengan kesejahteraan dokter-dokter di Amerika kelak. Amiiin!

Bagikan:

Tinggalkan Komentar