Award Winners

Perintahkan Tunda Pemilu, Berikut Pandangan Para Ahli Hukum Tata Negara

Perintahkan Tunda Pemilu, Berikut Pandangan Para Ahli Hukum Tata Negara
Foto Ilustrasi. Doc: Istimewa  
Penulis
|
Editor

HARIANREPORTASE.com — Perintahkan Tunda Pemilu, keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menimbulkan kritikan dari para ahli hukum tata negara.

PN Jaksel dalam keputusannya menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama 2 tahun 4 bulan dan 7 hari, yang berimbas pada penundaan pemilu.

Atas keputusan tersebut, hakim PN Jakpus pun dipertanyakan pemahaman dan kompetensinya oleh para ahli hukum tata negara.

Mahfud MD : Sensasi Berlebihan

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, menilai PN Jakpus bertindak terlalu jauh.

“PN Jakpus membuat sensasi berlebihan,” kata dia dalam keterangannya, Kamis (2/3/2023) petang.

Ia beranggapan, vonis PN Jakpus salah dan mudah dipatahkan karena, sengketa terkait proses, administrasi, dan hasil pemilu diatur tersendiri dalam UU Pemilu.

Ia menyoroti, bukan kompetensi pengadilan negeri menangani sengketa pemilu.

“Sengketa sebelum pencoblosan jika terkait proses administrasi, yang memutus harus Bawaslu, tapi jika soal keputusan kepesertaan paling jauh hanya bisa digugat ke PTUN,” ujar Mahfud.

“Adapun apabila terjadi sengketa setelah pemungutan suara atau sengketa hasil pemilu, maka menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi (MK). Itu pakemnya,” lanjut Mahfud.

Mahfud bahkan mengajak KPU banding atas putusan ini.

“Tidak ada hukuman penundaan pemilu yang bisa ditetapkan oleh PN. Menurut UU, penundaan pemungutan suara dalam pemilu hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia,” kata Mahfud.

Yusril Ihza Mahendra: PN Jakpus Keliru

Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) yang juga pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, berpendapat bahwa majelis hakim PN Jakpus keliru.

Sebab gugatan PRIMA adalah gugatan perdata perbuatan melawan hukum biasa, bukan gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa, dan bukan pula gugatan yang berkaitan dengan hukum publik di bidang ketatanegaraan atau administrasi negara.

Baca Juga:  Bulan Rajab, Sejarah dan Keutamaannya

“Dalam gugatan perdata biasa seperti itu, maka sengketa yang terjadi adalah antara penggugat (Partai PRIMA) dan tergugat (KPU) dan tidak menyangkut pihak lain,” kata Yusril

Oleh karenanya, dalam kasus gugatan perdata yang dilayangkan PRIMA, putusan PN Jakpus seharusnya tidak mengikat partai-partai politik lain apalagi Pemilu 2024 secara keseluruhan.

“Pada hemat saya, majelis harusnya menolak gugatan Partai PRIMA, atau menyatakan N.O atau gugatan tidak dapat diterima karena pengadilan negeri tidak bewenang mengadili perkara tersebut,” kata Yusril yang pernah menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan HAM RI.

Titi Anggraeni : Keputusan Yang Aneh

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraeni, berharap Komisi Yudisial turun tangan soal putusan teranyar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat PN Jakpus yang memerintahkan penundaan pemilu.

“Ini aneh langkah menunda pemilu via upaya perdata di pengadilan negeri. Komisi Yudisial mestinya proaktif untuk memeriksa majelis pada perkara ini,” ujar Titi

“Sebab ini putusan yang jelas menabrak konstitusi dan juga sistem penegakan hukum pemilu dalam UU Pemilu. Isi putusan yang aneh, janggal, dan mencurigakan,” tambahnya.

Dalam Pasal 470 dan 471 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017, sudah diatur saluran-saluran yang bisa ditempuh untuk mewujudkan keadilan pemilu, yaitu Bawaslu dan PTUN.

“Jadi bukan kompetensi PN Jakpus untuk mengurusi masalah ini apalagi sampai memerintahkan penundaan Pemilu ke 2025,” ujar pakar hukum kepemiluan Universitas Indonesia itu.

Feri Amsari: Langgar Konstitusi

Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Feri Amsari, menganggap PN Jakpus telah bertindak di luar yurisdiksi.

Baca Juga:  7 Sekolah Termahal di Indonesia, Biayanya Capai Ratusan Juta Per Tahun

Ia menyinggung prinsip penyelenggaraan pemilu 5 tahun yang merupakan amanat UUD 1945 lewat Pasal 22E ayat (1).

“Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi saja tidak bisa menabrak ketentuan ini, apalagi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” kata Feri

“Ini tidak masuk akal. Ini bukan yurisdiksi dan bukan kewenangannya,” ia melanjutkan.

Ia memberi ilustrasi, apabila pengadilan negeri diberikan wewenang semacam ini, maka ribuan pengadilan negeri di seluruh Indonesia dapat membuat putusan seperti yang dibuat PN Jakpus untuk menunda pemilu yang sifatnya nasional. Hal ini akan menimbulkan kekacauan.

“Oleh karena itu putusan ini semestinya harus segera dibatalkan dan tidak bisa dianggap sebagai putusan peradilan karena bukan menjalankan yurisdiksinya,” ungkap Feri.

Hamdan Zoelva: Kompetensi Hakim Dipertanyakan

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Hamdan Zoelva, mengaku terkejut mendapati berita soal putusan PN Jakpus ini.

“Walaupun masih putusan tingkat PN yang masih bisa banding dan kasasi, tetapi perlu dipertanyakan pemahaman dan kompetensi hakim PN dalam memutuskan perkara tersebut, karena bukan kompetensinya,” ungkap Hamdan.

Ia menduga ada salah paham majelis hakim atas objek gugatan yang dilayangkan Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA), yang merasa dirugikan karena dinyatakan KPU tidak memenuhi syarat keanggotaan verifikasi administrasi partai politik calon peserta Pemilu 2024.

“Seharusnya dipahami bahwa sengketa pemilu itu, termasuk masalah verifikasi peserta pemilu adalah kompetensi peradilan sendiri, yaitu Bawaslu dan PTUN, atau mengenai sengketa hasil di MK,” jelas Hamdan.

“Tidak bisa dibawa ke ranah perdata dengan dasar perbuatan melawan hukum,” ia menambahkan.

Jimly Asshiddiqie: Hakim Layak Dipecat

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie berkomentar keras soal putusan perdata Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) terkait proses verifikasi partai politik peserta Pemilu 2024.

Baca Juga:  Belasan Ribu Warga di Bandung Terinfeksi HIV

Putusan perkara perdata ini antara lain meminta penghentian tahapan pemilu yang adalah ranah hukum pemilu dan bukan kewenangan pengadilan perdata.

Menurut Jimly, hakim perkara tersebut layak dipecat. Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) diminta turun tangan.

“Secara umum kita tidak boleh menilai putusan hakim karena kita harus menghormati peradilan. Tapi ini keterlaluan. Hakimnya layak dipecat. Bikin malu,” ujar Jimly, dalam perbincangan dengan Kompas.com, Kamis (2/3/2023) malam.

Menurut Jimly, hakim yang menangani gugatan perdata Prima tidak profesional dan tidak mengerti hukum pemilu, serta tidak mampu membedakan urusan privat (perdata) dengan urusan publik.

“Tidak pantas hakim tidak dapat membedakan hukum perdata dan hukum publik. MA dan KY harus bertindak,” tegas Jimly.

Pengadilan perdata harus membatasi diri dengan menangani masalah perdata saja. Sanksi perdata hanya sampai pada ganti rugi. Persoalan terkait tahapan pemilu, tegas Jimly, adalah kewenangan konstitusional Komisi Pemilihan Umum (KPU).

“Kalau ada sengketa tentang proses (pemilu) maka yang berwenang adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bukan pengadilan perdata. (Kelak), kalau ada sengketa tentang hasil pemilu maka yang berwenang adalah MK,” ulang Jimly soal ranah hukum pemilu.

Karena itu, Jimly menyarankan pengajuan banding dan bila perlu sampai kasasi untuk putusan perdata PN Jakarta Pusat atas gugatan Prima terkait verifikasi partai politik peserta Pemilu 2024 ini.

“Kita tunggu sampai inkracht. Hakim pengadilan negeri tidak berwenang memerintahkan penundaan pemilu,” tegas Jimly.

Dalam persoalan hukum, imbuh Jimly, pengadilan perdata wajib tunduk kepada UU Pemilu.

Artikel ini dirangkum dari laman kompas.com, Jum’at (3/3/2023).

Bagikan:

Tinggalkan Komentar