Award Winners

Sidang Majelis Umum PBB, Krisis Dunia dan Pilpres

Sidang Majelis Umum PBB, Krisis Dunia dan Pilpres
Dr. Shamsi Ali  
Penulis
|
Editor

Oleh Dr. Shamsi Ali

HARIANREPORTASE.com — Hari ini, Selasa 19 September, secara resmi dimulai ritual tahunan para pemimpin dunia di kota New York. Sebuah perhelatan terbesar PBB dengan menghadirkan semua kepala negara / kepala pemerintahan atau yang mewakili. Indonesia unik dalam hal ini.

Sejak Presiden Jokowi menjadi Presiden RI hingga tahun terakhirnya sebagai Presiden RI beliau tidak pernah hadir. Ketika pak JK Wapres beliaulah yang selalu mewakili. Selebihnya hanya diwakili oleh Menlu.

Pertemuan pemimpin dunia tahun ini menjadi sangat krusial, dan akan banyak mewarnai dan memberikan arah memasuki tahun-tahun mendatang yang konon kabarnya cukup suram. Tema-tema besar SMU PBB kali ini masih seputar keamanan dunia, khususnya dalam konteks perang Rusia-Ukraina (NATO). Tema khusus kali ini juga berkaitan dengan lingkungan hidup (climate change) dan energi terbarukan.

Namun secara umum sebegitu banyak dan rumit permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh dunia saat ini. Perang Rusia-Ukraina berdampak pada tatanan dunia global yang nampaknya akan membawa kembali ketegangan bahkan perang dingin seperti masa lalu. Rusia di bawah kepemimpinan Putin sangat agresif dan lihai dalam membangun koalisi global. Dengan China, India, Iran, Saudi Arabia, Afrika Selatan, dan terakhir dengan Korea Utara nampaknya Rusia akan semakin mendapatkan kekuatan global menghadapi dominasi Amerika dan sekutunya.

Berbagai krisis keamanan dan gesekan global power ini berdampak berat bagi perekonimian dunia, khususnya di bidang keamanan pangan (food security). Krisis bahkan resesi ekonomi mengancam semua negara tanpa kecuali. Berakibat kepada ambisi global ekonomi yang menampakkan kerakusan yang sangat (highly greedy).

Baca Juga:  Baitul Mal Aceh Salurkan Bantuan Rp 40 Juta untuk Dayah Tahfiz Baitul Quran Aceh Besar

China dan Amerika masih merupakan dua kekuatan ekonomi dunia yang mendominasi. Masing-masing punya cara dan ambisi untuk menguatkan dan menancapkan kukunya ke berbagai belahan dunia. Perseturuan ekonomi Amerika dan China menjadi celah bagi sebagian untuk membangun basis. Salah satunya dengan terwujudnya BRICS yang nampaknya akan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia. Indonesia sendiri hingga saat ini belum menentukan arah dalam pertarungan ini. Karena posisi dasar Indonesia memang selalu “tidak berpihak” alias tidak kemana-mana tapi ada di mana-mana. Tergantung kepentingan tentunya.

Selain isu-isu besar di atas, isu lingkungan hidup juga menjadi isu utama kali ini. Kerusakan lingkungan yang ditandai dengan climate change dan pemanasan menjadi kekhawatiran global yang nyata. Tentu Amerika dan negara-negara Barat berada di garda terdepan dalam upaya menyelamatkan bumi. Tapi seringkali kebijakan-kebaikan Amerika dan Barat berwajah ganda (double standard). Mereka menjadi Champion of climate tapi untuk kepentingan sendiri. Ketika bersentuhan dengan negara lain, who care? Freeport dan berbagai proyek di berbagai negara di Asia dan Afrika contoh kecil dari keserakahan dan double standard Amerika dan Barat.

China apa apa apalagi. Di mana-mana China secara agresif dan ambisius melakukan ekspansi ekonomi tanpa kepedulian dengan lingkungan hidup orang lokal. Saya tentunya tidak perlu merinci ini. Tengok saja berbagai proyek yang dikomandoi oleh China di Indonesia. Selain lingkungan yang tidak terjaga, juga ribuan warga yang didatangkan untuk menjadi pekerja di bumi Nusantara. Diakui atau hal ini menggusur kesempatan lapangan kerja bagi warga lokal.

Baca Juga:  Menuju Akreditasi Unggul, IAIN Langsa Adakan Workshop IKU-IKT

Indonesia sendiri dengan (pandangan positif) punya niat baik untuk menjaga lingkungan. Hal itu terlihat dengan ambisi pengadaan kendaraan listrik. Tapi niat baik itu nampaknya terculik oleh kerakusan dan ketamakan pihak-pihak tertentu. Akibatnya propaganda kendaraan listrik untuk lingkungan yang hijau berbalik menjadi “kendaraan kepentingan ekonomi” para pemilik kepentingan (yang disebut Oligarki). Contoh dapat terlihat melalui proyek-proyek nikel maupun rencana proyek Rempang (Batam). Semuanya secara tanpa malu-malu dan di hadapan kasat mata merusak lingkungan. Kendaraan listrik atas nama “green energy” hanya cover up kerakusan dan pengrusakan lingkungan yang nyata.

Isu lain yang masih mengganggu ketenangan hidup sebagai seorang Muslim dan seorang manusia adalah berbagai ketidak adilan dan perlakuan semena-mena (kezholiman) kepada sebagian manusia lainnya. Dan secara kebetulan mayoritas yang mendapatkan perlakuan tidak adil dan zholim adalah mereka yang beragama Islam. Isu Palestina tak kunjung selesai, bahkan semakin suram. Kasus Rohingyah, Uighur, Kashmir, Yaman, dan lain-lain juga masih menyedihkan. Yang paling parah adalah pemerkosaan hak-hak di hadapan mata di siang bolong serta perlakuan biadab dan zholim kepada masyarakat Muslim di India. Dan lebih menyedihkan lagi, demi kepentingan ekonomi pemimpin dunia Islam berangkulan dengan pemimpin radikal India, Modi.

Baca Juga:  Fraksi PKS DPRA Minta Pemerintah Serius Tangani Rohingya

Berbagai isu dan permasalahan dunia di atas akan menjadi sorotan dan perdebatan NATO (No Action Talk Only) bagi pemimpin dunia di New York pekan ini. Tentu harapan kita, Indonesia sebagai negara besar, penduduk keempat terbesar dunia, demokrasi terbesar ketiga, dengan potensi ekonomi dan posisi strategi yang menentukan, harus menjadi pemain global yang menentukan warna dan arah dunia. Secara khusus Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia harus ikut menentukan arah dan menyelamatkan dunia dari ambang keambrukannya. Lebih khusus lagi, isu-isu yang menimpa minoritas Muslim di berbagai belahan dunia harus menjadi bagian dari tanggung jawab bangsa ini. Itu amanah Konstitusi untuk ikut menentukan perdamaian dunia.

Semua ini pastinya akan banyak ditentukan oleh situasi dalam negeri Indonesia. Kekuatan dan efektifitas kebijakan luar negeri itu ditentukan oleh kekuatan dalam negeri. Negara sekecil Singapura atau Qatar di Timur Tengah cukup menentukan karena mekuatan domestiknya. Dan pastinya kekuatan dalam negeri akan banyak ditentukan oleh siapa yang memegang kendali kepemimpinan perjalanan bangsa dan negara. Seorang pemimpin akan banyak menentukan pengaruh dan kekuatan bangsa, termasuk kebijakan luar ngerinya.

Itu pulalah yang menjadikan pilpres kali ini sangat penting. Karena akan banyak menentukan peranan Indonesia ke depan dalam mewarnai dan menentukan arah perjalanan dunia global.

Siapa pemimpin itu? Tanya hatimu!

Manhattan City, 19 September 2023

* Diaspora Indonesia di New York.

Bagikan:

Tinggalkan Komentar