Award Winners

Pusat Kebudayaan Islam Tempo Dulu, Medina of Marrakesh kini Hancur Akibat Gempa Maroko

Pusat Kebudayaan Islam Tempo Dulu, Medina of Marrakesh kini Hancur Akibat Gempa Maroko
Pemandangan Kota Marrakesh di Maroko. (UNSPLASH/Paul Macallan)  
Penulis
|
Editor

HARIANREPORTASE.com — Medina of Marrakesh merupakan sebuah kawasan Medina di Maroko yang ditetapkan sebagai situs warisan dunia oleh Unesco pada tahun 1985.

Namun kini, akibat gempa bumi dahsyat yang melanda Maroko pada Jumat (8/9/2023) malam pukul 23.11 waktu setempat telah meluluhlantakkan kota bersejarah Marrakesh ini.

Di Marrakesh, Masjid Koutoubia, salah satu bangunan bersejarah yang dibangun pada abad ke-12 turut hancur, meski luas kerusakannya masih belum jelas.

Masjid Koutoubia adalah landmark paling populer di kota ini, dengan menara setinggi 69 meter yang dikenal sebagai “atap Marrakesh”.

Bukan hanya masjid, tembok merah yang mengelilingi kota situs warisan dunia Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) ini juga tampak rusak akibat guncangan gempa.

Dikutip dari laman Konvensi Warisan Dunia UNESCO, Medina of Marrakesh dibangun pada 1070-1072 oleh Dinasti Almoravid di bawah kepemimpinan Yusuf ibn Tashfin.

Almoravid atau Murabithun sendiri merupakan dinasti Muslim Berber yang berpusat di Maroko, dan memerintah mulai 1040–1147.

Situs Marrakesh menjadi pusat politik, ekonomi, dan budaya untuk jangka waktu yang lama.

Bahkan, pengaruhnya terasa bagi seluruh Muslim di seluruh dunia, terutama belahan dunia bagian barat, dari Afrika Utara hingga Andalusia.

Baca Juga:  AFK Tetapkan 18 Pemain Untuk Pra PORA

Medina of Marrakesh, warisan dunia UNESCO

Marrakesh terletak di kaki Pegunungan Atlas Tinggi, Maroko selatan, antara Samudra Atlantik dan Laut Mediterania.

Dilansir dari Britannica, kota ini terdiri dari dua bagian, Marrakesh modern dan kota kuno yang dikenal sebagai Medina of Marrakesh atau Madinah di Marrakesh.

Dikelilingi hutan palem, Medina of Marrakesh disebut kota merah karena bangunan dan bentengnya terbuat dari tanah liat yang bersemburat warna merah.

Di balik benteng merah tinggi dan tampak kokoh, situs warisan dunia UNESCO ini menyimpan panorama alun-alun Jamaa el-Fna yang menjadi jantung kota.

Medina of Marrakesh juga dilengkapi Masjid Koutoubia dengan menara puluhan meter, Istana el-Badi, dan Makam Saadian, yang menunjukkan sejarah panjang kota ini.

Sebagian besar Medina pun masih dikelilingi tembok merah abad ke-12, lengkap dengan gerbang untuk akses masuk.

Dikutip dari laman Al-Ksar, kota ini awalnya merupakan kamp militer Suku Berber asal Mauritania, etnis asli daerah Afrika Utara, timur Lembah Nil.

Seiring waktu, kota semakin berkembang, dilengkapi sistem irigasi, hingga dikelilingi tembok merah yang mulai dibangun secara bertahap pada 1120.

Baca Juga:  FAI Universitas Serambi Mekkah Gelar Yudisium Istimewa

Kota pun bertransformasi menjadi ibu kota seluruh Almoravid, yang kala itu mencakup wilayah mulai Andalusia di Spanyol hingga Senegal.

Penguasa menjadikan Marrakesh sebagai ibu kota dan membangun kompleks kekhalifahan, pusat politik, serta militer.

Marrakesh tempo dulu juga dilengkapi distrik Kasbah, bangunan tinggi tempat tinggal pemimpin untuk bertahan saat kota diserang, serta gerbang kokoh bernama Bab Agnaou.

Masih pada abad ke-12, Masjid Koutoubia yang menjadi ikon utama dari Marrakesh pun berhasil dibangun.

Perlahan, kota ini bersinar dan menjadi pusat budaya dan seni. Bahkan, Marrakesh telah melahirkan tokoh-tokoh berpengaruh, termasuk ahli hukum dan filsuf Averroes (Ibn Rushd).

Hingga pada 1147, ibu kota Almoravid jatuh ke tangan Almohad atau Muwahhidun, wangsa Dinasti Berber yang memimpin sejak 1121.

Sejak itu, Almohad memindahkan ibu kota ke Marrakesh hingga kehancuran dinasti pada 1269.

Tahun yang sama, Marrakesh kemudian diserahkan kepada Marinids, kerajaan Muslim Berber, dengan kepindahan ibu kota di Fes yang berada di utara.

Puncak sejarah Marrakesh di bawah Dinasti Saadi

Pada 1524, Dinasti Saadi atau Saadian mengambil alih kekuasaan dengan menyerbu Marrakesh dari lembah Draa dekat Sahara.

Sultan Saadian Moulay Abdallah al-Ghalib dan saudaranya Ahmad al-Mansur kemudian memilih Marrakesh sebagai ibu kota kerajaan. Distrik Kasbah dibangun kembali dan banyak masjid mulai didirikan, termasuk Masjid Bab Doukkala pada 1557.

Baca Juga:  Pekerja Gaji Rp3,5 Juta Bakal Dapat BLT Rp600 Ribu Dari Pemerintah

Kawasan Yahudi “Mellah” pun mulai dikembangkan pada 1558. Selain itu, dinasti ini turut membangun Universitas Al-Quran terbesar di kawasan Maghreb, Medersa Ben Youssef, pada 1565.

Makmur berkat perdagangan emas dan gula, sejarah panjang Marrakesh semakin lengkap dengan pembangunan Istana el-Badi pada 1574 dan Makam Saadian.

Meski Marrakesh berkembang pesat saat menjadi ibu kota di bawah Dinasti Saadi, para penguasa berikutnya lebih sering tinggal di wilayah Fes atau Meknes. Namun, mereka terus menggunakan Marrakesh sebagai pos militer.

Pada 1912, Marrakesh direbut oleh pemimpin agama A?mad al-?ibah, yang dikalahkan dan diusir oleh pasukan Perancis pimpinan Kolonel Charles ME Mangin.

Di bawah protektorat Perancis (1912–1956), Marrakesh selama bertahun-tahun dikelola oleh keluarga Glaoui, termasuk di bawah Thami al-Glaoui.

Sementara itu, situs kota merah ini mendapat pengakuan dari UNESCO pada 1985, terpisah dari kawasan modern di sebelah barat atau disebut Gueliz, yang dulu berkembang di bawah protektorat Perancis. (Kompas.com)

Bagikan:

Tinggalkan Komentar